14th Card

245 42 16
                                    

Warning!

This chapter contains self-harming behavior.

Skip sampai bagian bertanda bintang (*) jika kamu merasa tidak nyaman membaca hal-hal yang berhubungan dengan selfhate, harming, cut dsb.

Adegan yang tidak baik dalam part ini bukan untuk ditiru. Jika kamu sedang mengalami keadaan yang tidak baik, aku harap semuanya lekas membaik dan kamu tetap baik baik saja💜

--------

Sebetulnya, semua ini salah siapa?

“Sepertinya kau harus mengingat latar belakang pernikahan kita.”

Jihye mengalihkan pandangan ke arah lain selain lengan kirinya. Memandang langit-langit kamar yang biasa saja. Kosong dan membosankan. Menghalau cairan bening yang siap membasahi pipi, tapi tidak! Jihye tidak mengizinkan dirinya menangis. Tangan kanannya bergerak dengan yakin.

“Aku setuju untuk mengurus restoran dan menerima perjodohan ini karena ayah menjanjikan kehidupan bebasku kembali.”

Satu gores.
Jihye tidak merasa apa pun.

“Bukankah kau memang menyedihkan? Bersedia menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak mencintaimu?”

Dua gores.
Sepertinya tidak ada lagi rasa sakit yang bisa dia rasakan..

“Kau tahu, Jihye? Menjadi ayah secepat ini tidak pernah ada dalam rencana hidupku.”

Cukup Jihye …

“Mari akhiri semuanya dengan benar.”

*
Cukup! Perempuan itu memejam mata dan menghela napas panjang. Dadanya terasa lebih lapang sekarang. Tangannya tampak biasa meletakkan kembali jarum yang diambilnya dari laci kecil di samping ranjang. Beberapa hari lalu Jihye menjahit robekan kecil pada salah satu bajunya yang masih bisa dipakai. Jadi benda kecil itu masih ada di sekitarnya.

Bibir tipis itu menyungging senyum getir.

Ini bukan kali pertama Jihye melukai diri seumur hidupnya. Bukan juga kali pertama Jihye melukai diri sejak bersama Hoseok. Perempuan itu bahkan pernah mencoba benda-benda tajam lain yang membantunya melampiaskan kesedihan―juga emosinya.

Jihye ingat, pengalaman pertamanya adalah saat ayah dan ibunya bertengkar hebat beberapa tahun yang lalu. Mendengar isak tangis ibunya, diam-diam Jihye turut meratap di balik pintu kamar yang terkunci. Jihye tahu, ibunya mengunci pintu dari luar supaya Jihye tidak terbangun mendengar perselisihan yang tidak jarang tersebut. Ibunya terlalu menyayangi Jihye. Namun Jihye bahkan bisa mendengar suara-suara benda dilempar dan pecah menghantam dinding kamarnya. Jihye takut, ingin berontak, melawan, marah pada sang ayah, tapi ia tahu hal itu akan membuat Ibunya semakin sedih. Menatapnya dengan perasaan bersalah karena mengkhawatirkan psikologi Jihye yang kerap melihat pertengkaran orang tua. Jadi selama ayahnya hanya melampiaskan pada benda sekitar dan tidak menyentuh ibunya, Jihye menahan diri demi tidak melihat ibunya merasa bersalah. Namun demi tetap terlihat baik-baik saja seolah pertengkaran yang ia dengar tidak pernah terjadi, Jihye butuh pelampiasan.

Saat itu dia melihat jarum jahit yang biasa disimpan di meja rias. Beberapa luka yang harus dia tutupi dengan baju lengan panjang keesokan harinya, membuat hatinya mati. Setidaknya untuk saat itu.

Jihye tidak suka terlihat lemah. Pengendalian emosi terbaik yang ia temukan adalah melukai diri sendiri. Dia tidak bisa melawan ayahnya, tentu, jadi dia melampiaskan semua kekesalannya dengan goresan-goresan kasar pada lengannya. Tidak pernah terlalu parah. Tidak sampai disadari oleh orang lain. Namun bagi Jihye, cukup membuatnya kembali tenang. Kembali tampak dingin. Melihat bekas-bekas panjang yang tidak terlalu dalam, tapi tetap terasa perih, air matanya seakan diusir kembali masuk dan tidak diizinkan keluar. Perempuan itu kembali menarik napas dalam. Begitulah selama ini cara Jihye melindungi diri.

House of Cards✓Where stories live. Discover now