21st Card

283 41 39
                                    

"Apakah Ibu kembali bertemu ayah?"

Ayah?

Apakah Jihye pernah punya ayah?

Mendengar kata ayah yang keluar dari bibirnya sendiri, Jihye menyadari dia begitu tidak nyaman dengan sebutan itu. Rasanya asing. Seperti perasaan tidak rela saat panggilan yang terasa penuh penghormatan tersebut ditujukan untuk seorang laki-laki yang tega meninggalkan keluarganya. Lelaki paling tidak bertanggung jawab menurut Jihye. Lelaki yang menanamkan pemikiran Jangan mencari pendamping hidup yang seperti Ayah.

Lelaki pertama yang membuat Jihye berpikir, tidak ada laki-laki baik di dunia ini. Semua sama saja.

"Apa salahnya bertemu Ayah, Jihye?" Ibunya bertanya dengan tenang setelah berhasil menguasai diri. Jihye tidak suka pertanyaan tersebut. Tidak ada jawaban yang pasti.

Rasanya memang tidak akan ada yang salah dari pertemuan seorang ibu dan seorang ayah, atau pertemuan seorang ayah dan anak. Sewajarnya saja hal tersebut bukanlah sesuatu yang asing. Pada umumnya keluarga memang seperti itu, bukan? Namun Jihye tidak sependapat.

Jihye tidak nyaman dengan kenyataan ayahnya berusaha menemuinya kembali. Dia tidak ingin.

Padahal dulu, dulu sekali saat dia masih kecil, Jihye ingat, dia begitu dekat dengan sang ayah. Keduanya suka sekali menghabiskan akhir pekan bersama. Pergi ke taman kota dan bermain bersama di sana. Ayunan, jungkat-jungkit, makan gulali bersama. Meski nyonya Han tidak pernah ikut menemani, tapi Jihye tetap bahagia. Semua perhatian ayahnya tercurah padanya. Semua kemauannya tidak pernah menemui kata tidak, selalu dituruti.

Dulu Jihye tidak pernah merasa aneh jika tidak ada presensi nyonya Han di sekitarnya dan sang Ayah. Pikirnya, ibu pasti tengah sibuk mengurus rumah. Namun seiring berjalannya waktu Jihye sadar, ada alasan yang membuat ibu dan ayahnya tidak pernah benar-benar terlihat bersama. Ada alasan yang membuat keduanya tidak pernah benar-benar bisa bersatu. Seiring berjalannya waktu Jihye tahu apa alasannya. Agak sakit, tapi tak mengapa.

"Ada urusan apa, ayah menemui ibu?" Jihye membiarkan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya menggantung tanpa jawaban. "Belakangan ayah juga selalu berusaha menghubungiku. Apa ibu tahu tentang itu?"

Nyonya Han mendekati putri semata wayangnya, mencoba menenangkan. "Bagaimana pun juga, Jihye, ayahmu tetap ayahmu. Dia berhak menemuimu kapan saja, bukan?"

"Setelah sekian lama? Kenapa baru sekarang? Jika ayah memang bisa menemuiku kapan saja, kenapa baru sekarang ayah datang, Bu? Apa kali ini juga Nara alasannya?"

Nyonya Han menggeleng. Pikirnya, Jihye tengah terpancing emosi dan tidak seharusnya mereka mulai berdebat. "Mari kita bahas lagi hal ini kapan-kapan. Sekarang lebih baik kau istirahat. Pikirkan kondisi kandunganmu."

"Aku melihat nama Nara di undangan itu. Apa dia akan menikah? Apa karena Nara akan menikah jadi Ayah mencari kita lagi, Bu?"

"Jihye, ibu tidak mau membahas ini sekarang―"

"Kenapa?".

"Ini bukan sesuatu yang harus kau pikirkan."

"Ibu menyembunyikan sesuatu. Apa ibu sedang membela ayah?" Nyonya han menghela napas tanpa menjawab. Jihye menyimpulkan dalam benaknya. "Kenapa ibu melindungi orang yang sudah membuat kita menderita?"

"Jihye dengar, tidak seharusnya kita selalu menyimpan kebencian. Dendam hanya akan membuat hidupmu selalu tidak tenang," ujar Nyonya Han kemudian.

Kadang Jihye tidak paham, kenapa di dunia ini harus diciptakan orang yang begitu jahat dan orang yang terlalu baik? Seakan kehidupan sedang mencari cari kisah menarik dari dua hal bertentangan yang dipertemukan. Jihye tidak paham.

House of Cards✓Where stories live. Discover now