4th Card

325 59 27
                                    

Tidak ada yang bisa lebih membantu Hoseok meluapkan segala emosi dan pikirannya selain dengan menari. Bergerak mengikuti irama musik dan tempo lagu. Tenggelam dalam suasana yang sesuai. Berekspresi. Menghentak. Berkeringat. Semuanya. Hoseok sungguh sangat butuh menari untuk saat ini. Dia melajukan mobilnya membelah jalanan malam yang cukup lengang.

Ada sebuah bangunan terbengkalai di sudut kota yang dialih-fungsikan menjadi tempat berkumpulnya para dancer. Bangunan tersebut merupakan bekas gedung yang cukup luas dan telah lama tidak terpakai. Pada malam-malam tertentu, para dancer dari berbagai daerah akan datang ke sana untuk menggelar kompetisi tidak resmi. Tak jarang mereka hanya datang untuk sekadar bersenang-senang. Menunjukkan kebolehan dari tim masing-masing atau bahkan latihan bersama. Hoseok kerap datang  ke sana jika sedang sengang. Baik bersama timnya atau secara individu. Menantang rekan-rekan satu hobi untuk beradu teknik. Mengeksplorasi bakatnya dan pulang dengan ilmu baru atau bahkan kawan baru. Tapi itu dulu, saat sebelum dia belum menyetujui perjanjian tak tertulis dengan sang ayah.

Hoseok menyugar rambutnya kasar, menambah kecepatan laju mobilnya. Ia bisa saja pergi ke sana malam ini. Tidak akan ada yang tahu. Tapi itu sama artinya dengan dia membiarkan dirinya kalah. Dia akan secara tidak langsung membuktikan pada ayahnya bahwa dia memang tidak memiliki pendirian yang kuat. Dan membiarkan dirinya kembali diremehkan? Hoseok tidak mengijinkan hal itu terjadi.

Maka, alih-alih melajukan mobilnya ke pinggiran kota, Hoseok memutar arah. Memutuskan untuk pergi ke klub malam milik rekannya yang tak begitu jauh dari rumah. Menghabiskan beberapa teguk alkohol tidak akan memberinya masalah, bukan?

“Jung. Ho. Seok!” sapa seseorang, tiba-tiba merangkul Hoseok ketika laki-laki itu tengah fokus dengan gelasnya. Kepalanya mulai terasa pening, tapi dia masih bisa membedakan bahwa yang tengah duduk di sebelahnya saat ini bukan seorang wanita penggoda. “Ini benar kau kan? Hobi?”

“Jackson?” gumamnya, melirik laki-laki di sampingnya sekilas.

Right! Kau pikir siapa, hm?” Hoseok mengabaikan celoteh Jackson. Dia sedang tidak berminat untuk basa-basi saat ini. Tidak ada topik menarik yang bisa dijadikan bahan obrolan. Seluruh pikirannya berfokus pada Hana dan hubungannya yang kandas.

Sial! Harusnya tidak pernah ada Jihye di antara keduanya. Hoseok mulai berpikir untuk mengakhiri semua ini, tapi dia tidak bisa memikirkan caranya. Otaknya bebal. Laki-laki itu mengangkat gelasnya sekali lagi. Meneguk habis isinya.

“Kau tampak kacau, Man. Berapa gelas kau lahap malam ini?”suara berat khas Jackson kembali menyapa pendengarannya. Kali ini dengan nada mengejek, membuat Hoseok terusik.

“Diamlah Jack!” sergahnya kasar.

Tapi membungkam seorang Jackson Wang tentu tidak semudah itu. Laki-laki itu tampak tak terganggu dengan aura tidak bersahabat Hoseok. “Kau jarang terlihat setelah menikah, jadi benar kau sudah tidak menari lagi?”

Pertanyaan sialan.

“Kubilang tutup mulutmu!”

“Jadi kau merasa tertekan karena hal itu?” Hoseok sudah akan melayangkan pukulannya untuk membuat Jackson diam. Namun, kalimat terakhir laki-laki itu menghentikannya. “Atau kau begini karena Jimin dan Hana?”

Hoseok menoleh cepat ke arah Jackson. Memicing mata dengan pandangan menyelidik. “Jimin dan Hana?” tanyanya, memastikan bahwa pendengarannya masih befungsi dengan baik.

“Ya. Did you know they are dating?”

Damn! “Kau bercanda kan?” tanya Hoseok gusar. Telinganya terasa panas, terlebih otaknya ketika memikirkan tentang kebenaran hal itu. Jackson mengambil telepon genggam dari saku celananya dan mencari sesuatu. Tidak lama pria itu menunjukkan sebuah foto pada Hoseok.

House of Cards✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang