27th Card

149 35 23
                                    

Namun katanya, kembali pada kesalahan yang sama hanya akan dilakukan oleh orang-orang bodoh.
Denganmu, rasanya aku tidak masalah menjadi bodoh sekali lagi.

Saat itu Jihye membaca kutipan naskah kliennya dengan datar. Mempertanyakan logika tokoh perempuan dalam cerita tersebut yang terlalu terbawa perasaan. Tak memahami bagian mana yang romantis dari sebuah kisah cinta diam-diam dan rasa sakit yang dipendam sendirian. Saat itu Jihye bahkan merutuki kebodohan sang tokoh utama yang tetap memilih sumber rasa sakitnya sebagai tujuan untuk pulang. Dalam pikiran Jihye, hal itu mustahil. Namun, mendadak teringat dua baris kutipan itu membuat Jihye berpikir, Jihye mungkin sama bodohnya dengan tokoh perempuan dari naskah yang pernah dirutukinya tersebut.

“Bagaimana kondisimu saat ini?” tanya Hoseok, memecah keheningan di antara keduanya yang tak jua ingin berlalu. Keduanya kini masih berada di kamar lama Hoseok. Saling berbaring di ranjang yang tidak cukup besar. Tidak melakukan apa pun selain menatap langit-langit kamar. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Baik,” jawab Jihye singkat, tidak berbohong. Hoseok mengalihkan pandangan untuk melihat ekspresi wajah istrinya. Biasa saja. Tidak ada emosi yang kentara. “Aku mengatakan yang sebenarnya. Saat ini aku baik-baik saja.”

“Senang mendengarnya.”

Harusnya ada lebih banyak kalimat yang bisa diucapkan Hoseok. Betapa Hoseok bersyukur karena Tuhan masih memberinya kesempatan untuk bertemu Jihye kembali. Memandang wajahnya sedekat ini. Melihatnya baik-baik saja. Harusnya ada lebih banyak hal yang bisa Hoseok sampaikan. Namun Hoseok takut merusak suasana. Bisa ada di samping Jihye seperti ini saja sudah merupakan suatu kemajuan bagi hubungan mereka.

“Berkali-kali kau menyuruhku berhenti bekerja. Ternyata sekarang terkabul juga keinginanmu,” ujar Jihye yang terdengar seperti sindiran bagi Hoseok.

“Kau perlu istirahat,” jawab Hoseok tenang. “Aku sudah meminta bantuan Minji untuk mengurus cuti hamilmu.”

Jihye tersenyum remeh. Sejak kapan Hoseok menjadi akrab dengan Minji. Situasi sekarang ini hampir seperti suami istri pada umumnya bukan?

“Kau tahu Hoseok,” tanpa mengalihkan pandangan dari langit-langit kamar, Jihye melanjutkan. “Menurutku, selain latar belakang yang tidak cukup kuat, salah satu masalah dalam pernikahan kita adalah kurangnya komunikasi. Tidakkah kau setuju?”

Tanpa mengalihkan pandangan dari paras istrinya pula Hoseok mengangguk. Menyetujui. Mereka sudah terlalu banyak menimbun kesalahpahaman sejak awal. Menyembunyikan banyak hal yang sebaiknya dibagi bersama. Saling bertukar cerita dan perasaan. Bukannya saling tidak peduli dan mencurigai.

Bukan sepenuhnya salah keduanya jika sejak awal mereka tidak melakukan hal tersebut. Tidak ada cinta sebagai pondasi awal mereka berkomitmen.

“Tapi jika kau tiba-tiba mengajak membahas hubungan kita, aku tidak siap,” lanjut Jihye.

“Aku akan menunggu sampai kau siap,” jawab Hoseok yakin. Berhasil mengundang atensi Jihye untuk berbalik menatapnya. Jarak keduanya kini begitu dekat. Jihye bahkan dapat merekam setiap detail wajah Hoseok yang rupawan.

“Kenapa tiba-tiba mau menungguku?”
Hoseok tidak langsung bersuara. Dia mengubah posisi tidur untuk sepenuhnya menghadap Jihye. Satu tangannya terangkat hendak membelai rambut legam istrinya. Namun refleks terkejut Jihye yang menegang sesaat membuat Hoseok mengurungkan niat.

“Maaf,” gumamnya. Menarik kembali tangannya, tidak ingin membuat Jihye tak nyaman.

Jihye berdeham, mengusap perutnya yang terasa sedikit bergejolak sebab kejadian barusan. “Maaf, aku hanya―”

House of Cards✓Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα