17th Card

249 41 43
                                    

Hai, teman! Gimana kabarnya hari ini?
Semoga besok dan seterusnya selalu dilingkupi kebahagiaan dan keberuntungan, ya💜
-----

From : Unknown number
Jihye, ini Ayah. Maaf sudah menganggu waktumu.
Tidak bisakah ayah bertemu denganmu?
Atau setidaknya jawab telepon Ayah.

Jihye menghela napas lelah.

Diletakkannya kembali benda pipih berharganya pada meja rias. Tidak ingin repot-repot membalas atau bahkan membuka pesan singkat yang baru saja masuk menghias layar ponsel. Cukup dengan membaca notifikasi yang tampak saja sudah membuat perasaan Jihye campur-aduk. Sedih, marah, gusar, hambar. Jihye merasa tidak tenang.

Belakangan, setelah pertemuannya dengan sang ayah tempo hari, Jihye kerap dihubungi nomor tidak dikenal yang tidak pernah dia tanggapi. Jihye tidak tahu siapa yang telah membagikan nomornya pada orang lain, tapi Jihye tahu telepon itu adalah ayahnya yang berusaha dekat dengannya lagi. Entah untuk alasan apa, tapi Jihye tidak suka itu. Katakan saja Jihye durhaka karena dia benar-benar tidak ingin bertemu ayahnya. Jihye sungguh merasa tidak nyaman.

Lagipula jika dipikir-pikir, jika ia menemui ayahnya, memangnya apa yang harus dibicarakan? Sayang? Rindu? Jangan bercanda. Jihye masih sakit hati dengan keputusan ayahnya yang lebih memilih keluarga lain dibanding dia dan ibunya. Sudah beberapa tahun berlalu dan luka itu masih ada. Menyaksikan Ibunya yang tidak lagi sanggup bertahan dan dia yang pada akhirnya terpaksa merelakan. Bertemu ayahnya kembali membuat Jihye takut. Apakah ada hal buruk yang akan terjadi?

Meski sesusungguhnya dia tahu, tidak seharusnya dia selalu berpikir buruk.

Mengangkat wajah dan mengamati pantulan dirinya pada cermin, Jihye menemukan sosok Hoseok berdiri di depan pintu kamar mandi dengan tubuh yang masih tampak basah. Mengamatinya entah sejak kapan, dengan ekspresi datar yang juga tak dapat Jihye jabarkan.

“Memikirkan apa lagi, Jihye-ya?” ujarnya, bertukar pandang dengan Jihye melalui pantulan cermin.

Diam-diam Jihye menelan ludah. Bukan karena aura mengintimidasi Hoseok yang tajam. Namun lebih karena penampilan suaminya itu sekarang. Rambut yang berantakan dan masih terlihat basah usai keramas, tubuh bagian atas yang belum tertutup apa pun selain selembar handuk yang dikalungkan leher, juga celana panjang warna gelap yang membungkus kaki panjangnya. Beruntung bagian bawah tubuh Hoseok tertutup dengan sempurna. Kalau tidak …

Jihye refleks memejam mata, berusaha mengusir pikiran-pikiran kotor yang tiba-tiba terbesit di otaknya. Hei Han Jihye! Sejak kapan kau jadi punya pikiran mesum seperti ini? Sadar! Sadar! Sadar! Perempuan itu menggelengkan kepala samar, menghalau potongan-potongan adegan yang mustahil terjadi.

Melihat reaksi Jihye yang semakin aneh, pria itu mendekati istrinya. Bertumpu pada lutut, setengah berdiri di samping Jihye, menguncang bahunya pelan. “Jihye? Kau baik-baik saja?”

Jihye refleks membuka mata, menoleh dan tertegun mendapati wajah Hoseok yang begitu dekat dengannya. Bertemu pandang dengan manik legam yang menatapnya penuh tanya. “Jihye?”

Jihye menggeleng sekali lagi. “Aku baik-baik saja,” ujarnya, usai berhasil menguasai diri. “Pakai bajumu dengan benar, Hoseok-ssi!”

Hoseok menunduk sebentar, lalu terkekeh. “Kausku jatuh di lantai. Basah.”

“Kenapa tidak minta tolong ambilkan yang baru?” Jihye menarik diri, sedikit menjauh dari Hoseok. Membuat laki-laki itu menyeringai geli.  Tidak mungkin kan Jihye memikirkan apa yang dia pikirkan?

“Aku sudah memanggilmu, tapi tidak ada respon. Kukira kau sedang membuat sarapan. Ternyata melamun lagi.” Hoseok mendengus di akhir kata. “Kali ini apa yang kau pikirkan?”

House of Cards✓Where stories live. Discover now