Part 32 (Keputusan)

75 4 0
                                    

Kurasakan jantungku berdegup semakin kencang begitu suara gesekan roda dan rel kereta terdengar nyaring bersaingan dengan instrument penanda kedatangan kereta diputar. Entah apa yang merasukiku hingga memiliki inisiatif menjemput Genta padahal tahu jika kebanyakan temanku pengguna setia transportasi ini.

"Hai" sapanya begitu berdiri dihadapanku dengan senyuman lebar seolah tidak merasakan lelah setelah menempuh perjalanan jauh.

"Hai, maaf ya kalau aku ganggu waktu istirahat kamu" kataku sungkan.

"Nggak masalah, kita ngobrol di Cafe depan ya, disini terlalu rame" katanya dengan menarik tanganku menuju tempat yang dimaksudnya.

Ini beneran Genta, kan? Batinku yang sesekali melirik genggaman tangan kami. Mungkin reaksiku terkesan berlebihan, tapi jika menilik kembali sejarah hubungan kami yang hanya sebatas teman kenal nama hampir 3 tahun, ini menjadi peningkatan pesat dan tak terduga.

"Kelamaan nunggu, nggak, tadi?" tanyanya begitu kami duduk di pojok Café yang kebetulan kosong dan menunggu pesanan kami diantarkan.

"Nggakok"

"Jadi gimana?"

"Hah? Gimana apanya?"

Ini orang kenapa to the point sekali? basa-basi dulukek, nggak tahu apa daritadi jantungku udah kerja rodi.

"Nggak mungkinkan kamu sengaja meluangkan waktu cuman buat jemput aku padahal selama ini kamu menghindari pertemuan kita karena takut jadi bahan ejekan anak-anak lain. Jadi, bagaimana hasil pemikiranmu, Wulandari?"

"Aku..."

"Kamu tahukan kalau aku sebelumnya nggak pernah deket sama cowok manapun, apalagi sampai tahap jadian? Gebetan aja nggak pernah mikirin jadi...."

"Ya atau nggak? Cukup jawab itu aja" selanya membuatku terkesiap hingga blank karena kaget dengan nada tegasnya.

"Ya!"

"Yakinkan?"

"Apa?"

"Baiklah, tidak ada revisi. Mulai sekarang kita masuk babak baru dalam hubungan pertemanan kita"

"Apa?" tanyaku hati-hati.

"Temen deket"

Ini orang masih waras nggak sih? Temen sama temen deket apa bedanya? Samalah, wong sama-sama ada unsur temennyakok.

"Heh? Terus apa bedanya sama temen?"

"Bedalah, temen itu nggak berbagi komitmen dan jaga hati. Kalau temen deket nantinya akan berbagi komitmen, jaga hati dan saling mengenal lebih baik sampai kita habis Magang"

"Kalau nggak berhasil sampai kita selesai magang?"

"Nggak bisa! kita harus mengevaluasinya habis magang karena waktu kita KKN pasti bakalan susah komunikasi, jadi disela-sela waktu magang kita bisa punya waktu lebih banyak buat saling mengenal" tegasnya menjelaskan rencananya itu.

"Kamu nggak yakin sama keberhasilan hubungan ini, Genta?" tanyaku sangsi begitu menangkap maksud penjelasannya.

Ini kenapa Genta ngeselin bangetsih? Kalau dia mikir hubungan ini nggak bakalan berhasil kenapa ngajak berhubungan lebih dari temen sampe ngaku suka segala? Kalau ginikan sia-sia kegalauan dan rasa nggak enakku pernah gantung dia kemarin, asem.

"Buat melangkah sampe jenjang pernikahan itu banyak stepnya, Wulandari. Salah satunya saling kenal yang jaman sekarang lebih umum pake metode pacaran, tapi kita nggak mungkin langsung masuk tahap pacaran kalau mau ngechat aja masih was-was. Mau pake metode Ta'aruf juga nggak memungkinkan karena jangka waktu ta'aruf tak disarankan lebih dari 3 bulan setahuku"

"Aku mau serius sama kamu tapi nggak bisa langsung lompat ke jenjang pernikahan, karena jujur aja aku belum punya pendapatan tetap jangka panjang. Mungkin modal buat resepsi bisa tapi kalau biaya hidup? belum ada kepastian, nggak mungkinkan aku ngajak susah anak orang"

"Jadi, sederhananya kita temen main hati gitu?" tanyaku meminta penegasan.

Padahal menurutku juga sama aja, sama pacaran. Bedanya udah ditetapkan masa kadaluarsanya aja.

"Anggep aja PDKT tapi kamu nggak buka peluang lagi buat pejantan lain"

"Tahu gitu aku nggak usah stres-stres mikir kemarin" Gumamku dengan mengedarkan pandangan ke sekitar Cafe yang mulai dipadati pengunjung mendekati kepulangan sang Surya.

"Tapi kalau kamu nggak mikir bener-bener kemarin, apa nggak takut nyesel? Karena aku berencana ke rumahmu habis kita kompre"

"Hah? Ngapain?" Teriakku spontan karena kaget mendengar perkataannya yang bisa dipastikan mendengar gumamanku tadi.

"Tentu saja melamarmu biarpun nggak resmi, karena resminya 2 tahun lagi"

Dokter mana dokter? jantungku kayaknya udah mulai capek kerja rodi sejak inisiatifku mengirim chat bertanya jadwal kedatangan Genta kemarin.

Ya lord, ini kenapa Genta jadi serem begini, kalau aku beneran suka gimana? Eh, tapikan aku emang suka, kalau nggak ya nggak mungkin tak terimalah ajakan jadi temen deket berbau PDKT ala pacarannya itu.

"Apa nggak kecepetan?"
Edan, jadian belum ada 1 jam udah ngomongin lamaran. Apa kabar jantungku didalam sana? Gelagapanlah.

"Bahkan ta'aruf aja dianjurkan nggak lebih dari 12 mingguloh"

"Ya, iyasih"

"Aku punya rencana buat nikahin kamu 2 tahun lagi. Aku tahu kamu jauh-jauh dari rumah dan pusing-pusing kuliah tentu punya cita-cita untuk membanggakan orangtua. Jadi aku tidak akan menghalanginya dengan cara menambah beban tanggung jawab kamu melalui status pernikahan, gimana menurutmu?"

"Jujur, kukira kamu akan menikahiku usai wisuda karena rencanamu yang katanya akan melamarku habis kompre dan itu membuatku banyak berpikir karena takut tidak cukup punya waktu buat berbakti sama orangtua dan nyari pengalaman kerja"

"Jadi, aku setuju dengan rencanamu itu. 2 tahun lagikan?"

"Ya, kita emang nggak tahu masa depan tapi kuharap rencana ini akan berjalan lancar karena aku merasa memiliki keyakinan besar untuk meminangmu tapi belum cukup matang dan memiliki modal menjalani hidup baik secara materi maupun mental" jelasnya dengan senyum simpul yang mampu meyakinkanku jika apa yang direncanakannya sudah benar.

"Makasih buat pengertiannya"

"Sebenarnya bukan pengertian tapi karena memang aku masih kurang mapan dan ideal jika disandingkan denganmu"

"Aku nggak nyari kemapannan tapi yang mau bertanggungjawab dan punya pemikiran terbuka serta dewasa, karena aku punya sikap kekanakan dan keras kepala"

"Udah mahgrib, kita sholat dulu ya, habis itu kuantar pulang. Pulang ke rumah atau Kos?" tanyanya mengajakku berjalan bersisihan meninggalkan Cafe yang semakin ramai di malam hari tanpa ada kontak fisik layaknya orang baru jadian.

Aku sadar keputusan kami membangun hubungan ini mungkin kurang kokoh pondasinya karena biasnya rule dan hanya mengandalkan masa akhir komitmen tanpa ada plan lain jika gagal. Bukan bermaksud bersikap pesimis tapikan pemegang kendali sepenuhnya adalah Allah Swt, jadi seandainya ada kejadian diluar rencana entah bagaimana kami akan mengatasinya. 

"Pulang ke Kos aja karena aku juga mau packing buat persiapan KKN minggu depan"

"Aku juga belum nyiapin apa-apa, besok mau turun nggak nyari perlengkapan bareng?"

"Boleh"

Benar kata mas Chandra, nyaman bisa datang jika kita membiasakannya. Jadi langkah awal yang bisa kuambil saat ini adalah menerima tawarannya walaupun otakku mendoktrin untuk menolak karena debar tak nyaman di dada.

Tapi karena sekarang kami sedang merencanakan masa depan bersama jadi jalan terbaik untuk menyukseskan rencana kami adalah mulai menyamankan diri, membuka hati dan menikmati debar didada yang kurasa akan permanen untuk keberhasilan hubungan yang kami rencanakan ini, semoga Allah meridhoi, amin.

~Anetarilasss~

Heart AttackWo Geschichten leben. Entdecke jetzt