12. TIDAK PULANG

2.7K 254 20
                                    

Dinda senang bukan main karena Aro mau menurutinya untuk menemui dokter Ilham.

"Apa pun yang dikatakan dokter Ilham, kamu harus nurut ya! dia itu ahli banget pokoknya. Kamu mau sembuhkan, Mas?" tanya Dinda.

"Iya, bawel."

Dinda terkekeh kecil, ia yakin Aro sebenarnya sangat jengkel sekali sekarang kepadanya. Tapi, Aro tidak bisa memarahinya. Tidak tahu alasannya, tapi Aro pernah bilang kalau dia tidak bisa marah kepada Dinda apapun kesalahan gadis itu.

Tak lama kemudian seorang dokter muda dan tampan datang. Dokter itu sangat ramah dan sepertinya akrab kepada Dinda.

"Dokter umur berapa?" tanya Aro.

"Saya dua puluh enam tahun."

"Oh. Rumahnya dimana?"

"Ehhh sekarang sih saya tinggal sama keluarga di Bogor."

"Mantan pacar ada berapa dan kok bisa putus?"

Dinda menoleh pada Aro, kenapa juga pria itu malah mengintrogasi dokter Ilham? Memangnya apa hubungannya sama mantan pacar dan jantung pria itu?

"Maaf ya kak, mas Aro emang suka ngaco. Sebentar kita mau bicara dulu." Dinda menarik Aro berdiri dan mengajak pria itu untuk berbicara sedikit lebih jauh dari dokter Ilham.

"Mas Aro kenapa jadi nanya mantan pacar dokter Ilham sih?!" tanya Dinda kesal.

"Ya aku cuma mau tau aja."

"Tapi itu gak hubungannya sama penyakit kamu!"

"Tapi ada hubungannya sama kamu."

"Aku?"

"Iya! dia kayaknya suka sama kamu, aku harus tau selakbeluknya dulu."

Dinda menepuk jidatnya lalu meninju telak rahang Aro. Kesal sekali berhadapan dengan Aro. Selalu saja mengintrogasi lelaki yang kelihatan dekat dengan Dinda.

Ilham yang memperhatikan dari jarak jauh tertawa kecil. Kenapa pula mereka jadi bertengkar?

"Sekali lagi kamu nanya gak penting kayak tadi, bukan cuma aku pukul tapi nomor kamu aku blokir plus aku hapus!" ancam Dinda lalu berjalan kembali menuju meja dimana dokter Ilham menunggu.

Aro mendengus sebal, kenapa sih Dinda selalu marah jika Aro khawatir kepadanya? Aro kan begini karena dia menginginkan pria yang baik untuk gadis itu.

Kini mereka sudah kembali duduk, Aro terus memperhatikan dokter Ilham dengan intens.

"Biasa aja liatinnya, mas Aro!" bisik Dinda penuh penekanan.

"Emang begini cara aku liat orang, Dinda." balas Aro kesal karena gadis itu sangat bawel.

"Jadi, boleh saya lihat dulu berkas hasil-hasil pengobatan yang dilakukan Pak Aro selama ini?" tanya Ilham membuka pembicaraan sebelum dua orang dihadapannya kembali bertengkar.

"Ini, kak." Dinda mengeluarkan semua berkas yang dibawanya untuk dilihat oleh Ilham.

Ilham tampak teliti membaca semua berkas ditangannya.

"Kayaknya dia orang baik." bisik Aro kepada Dinda.

"Ya emang."

"Tapi, jangan gampang percaya gitu aja. Banyak pria memakai topeng, kelihatannya baik tapi ternyata bejat."

"Ya udah sih, kan aku sama dokter Ilham itu cuman temen."

"Gak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan."

"Berarti kita juga dong?"

"Beda konsep, kamu sama aku bukan temen. Kita itu—"

"Baik saya sudah melihat semuanya, lusa bisa kita ketemu kembali? tapi dirumah sakit tempat saya bekerja." ujar Ilham membuat ucapan Aro terpotong.

"Bisa kok, kak!" jawab Dinda.

"Aro saja, kamu gak perlu ikut. Dia kan sudah besar, masa masih ditungguin."

"Biasa dok, Dinda emang posesif gitu sama saya. Kalau saya pergi dia selalu mau ikut." ucap Aro yang langsung mendapat tatapan tajam Dinda.

"Dia takut jarum suntik, kak. Jadi, kalau disuntik suka ngamuk. Saya takutnya kakak gak bisa nanganin gorila ngamuk."

"Enak aja! Aku takut jarum suntik? gak ada sejarahnya ya."

Ilham menghela nafas panjang, kenapa pula ia jadi menonton perdebatan dua orang ini?

Tapi, kalau dilihat-lihat mereka cocok.

•••

Juna tersenyum melihat hasil USG kandungan Saza. Masih berbentuk buntalan darah, tapi ia senang bukan main karena anaknya tumbuh sehat.

"Nanti USG lagi, kak Juna temenin aku ya." ucap Saza.

"Hm." jawab Juna acuh tak acuh.

"Menurut kakak anaknya bakal mirip siapa?" tanya Saza tidak mau kehabisan topik.

"Tidak tahu."

"Semoga aja mirip aku, hehe."

Hening untuk beberapa saat hingga tiba-tiba saja Saza memeluk lengan Juna dan menyenderkan kepalanya pada bahu Juna.

"Makasih ya, kak Juna mau ke apartemen aku."

"Iya."

"Kira-kira kakak kapan mau nikahin aku?"

"...."

"Kak Juna gak bakal ingkar kan? pokoknya setelah bayi ini lahir kakak dan istri kakak udah pisah ya."

"...."

"Kak Juna kok diam aja sih?!" Saza merubah posisinya menjadi duduk menghadap Juna.

"Saya janji." ucap Juna membuat Saza tersenyum senang dan langsung memeluk pria itu.

Handphone Juna berbunyi, Saza melirik nama yang tertera di layar handphone.

My Cutie Pie calling....

Entah mengapa Saza kesal, ia yakin pasti itu adalah Poppy. Saza merebut ponsel Juna dan menolak panggilan tersebut dan mematikan handphone Juna.

"Kalau lagi sama aku fokus ke aku aja bisa? kakak gak tau ya beratnya jadi aku? Aku juga mau tidur ditemenin sama kak Juna pas lagi hamil kayak gini, tapi apa? kakak selalu nolak dan lebih milih pulang!" ujar Saza menangis.

Kenapa Juna jadi tidak tega ya? bagaimana pun juga Saza sedang mengandung anaknya. Menurut yang dibacanya kalau ibu hamil itu sensitif dan butuh perhatian lebih dari suami.

Tapi, Juna jarang sekali menemui Saza. Ia selalu menghindar dari gadis itu, entah kenapa kalau bertemu Saza yang ada dipikirannya adalah wajah sedih Poppy.

"Saya minta maaf." Juna menarik Saza kedalam pelukannya. Mengelus punggung gadis itu untuk menenangkan.

Maafkan saya Poppy, saya tidak pulang dulu.

My Cutie Pie WifeWhere stories live. Discover now