16. KOLOR SQUIDY

86.3K 11.2K 3K
                                    

"Samu pengedar." Ucapan Dean masih terngiang jelas di telinga Sea. Gadis itu tidak ingin percaya, tetapi ada sesuatu di benaknya yang membuat Sea merasa tidak tenang.

"Yeu, kalau bukan sodara ya b aja kalik. Manusia kok mau nyaingin kulkas dua pintu," celoteh Kelly mengomentari sikap Dean beberapa saat yang lalu ketika cowok itu menyangkal terkaan Kelly.

"Sea, sebelah mana yang sakit?" Kelly memeriksa semua tubuh Sea yang terlihat.

"Ga ada, Kel."

"Udah deh, mending makan buah ini aja." Hyuna menyodorkan beberapa buah yang sudah dipotong dan dimasukkan ke dalam wadah khas buah-buahan yang dijual di supermarket.

"Ivy nggak ikut ya?" tanya Sea penasaran.

"Gak ah! Males banget sama dia!" Kelly menyahut kesal.

Hyuna membuang napas melalui bibirnya. "Maklumin aja ya, yang Ivy kalo kesel sama sesuatu semuanya kena imbasnya, sementara Kelly kalo udah dikasarin bisa ngambek sebulan."

Sea tersenyum tipis. "Nggak bisa bayangin gimana kalau Kelly Ivy tanpa Hyuna."

"Nggak bisa bayangin juga kalo Kelly tanpa Sea!" Suara cempreng Kelly ikut menggema di dalam ruangan, gadis itu memeluk lengan Sea akrab.

***

"Pah!" panggil Raga di alam bawah sadarnya. "Jangan!"

Keringat dingin menyelimuti setiap pori-pori kulit Raga, kepala cowok itu bahkan terus bergerak tidak tenang, seolah sedang bermimpi buruk.

"PAPAH!" Raga tersadar dari tidurnya.

Manda yang duduk di sampingnya itu segera menggenggam tangan Raga, membantu cowok itu agar tersadar secara sempurna. "Ini Manda, Aga."

"Manda?" Napas Raga terengah, seakan-akan baru saja dikejar oleh maut.

"Iyaa, Aga masih suka mimpi buruk ya?" Manda merebahkan kepalanya di dada Raga yang terbaring di brankar rumah sakit.

"Hm."

"Mau obat lagi? Nanti Manda mintain ke Papa?"

"Nggak, nggak usah. Gue masih bisa nahan semuanya, nggak perlu pakai obat lagi."

Manda menegakkan tubuhnya agar dapat melihat wajah Raga. "Tapi, Ga--"

Raga membelai leher Manda yang terbebas dari cervical collar. "Udah dilepas?"

Bibir Manda ternganga, ia sempat melepas benda itu karena terlalu gerah. Sial, dia lupa memakainya lagi.

"Ah, iyaaa. Kata dokter, Manda udah nggapapa kok."

"Secepat itu?"

Manda gelagapan, tetapi tidak terlalu kentara. Gadis berambut curly itu malah tersenyum, membuat Raga lupa dengan apa yang sedang mereka bicarakan.

"Aga mau makan bubur nggak? Ini bagus buat--"

"RAGA!" Suara Sabita menggelegar dari pintu masuk IGD, lalu tak lama kemudian gorden penutup brankar terbuka oleh sekertaris Sabita dan muncullah wanita yang sangat Raga kenali.

Sabita melangkah lebar mendekati Raga, sementara Raga beranjak duduk di ranjangnya. "Mamah."

Sabita memeriksa denyut nadi Raga, ekspresinya terlalu tegang, seolah sangat takut kehilangan putra sematawayangnya yang satu itu.

Sabita menghela napas penuh kelegaan setelah memastikan jika Raga baik-baik saja. Genggamannya di tangan Raga pun merenggang.

"Mah," Kini giliran Raga yang memegang tangan Sabita penuh rasa syukur. "Makasih udah dateng--"

RAGASEA (END)Where stories live. Discover now