23. MOTOR MERAH

79.4K 11.3K 4.4K
                                    

"Melvin, ada perkembangan?" tanya Raga melalui sambung telepon dengan seorang dokter teman kuliah Sabita.

Raga menunduk, mendengarkan penjelasan seseorang di sebrang sana dengan seksama. Katanya, Melvin masih harus dirawat intensif dan masih belum ada perkembangan sedikitpun.

"Baiklah, besok sore saya ke sana." Raga mematikan ponselnya, lalu meletakkan benda itu di atas meja.

Raga mengusap wajahnya gusar, pikirannya kacau, semua peristiwa demi peristiwa yang mengganjal terus berputar di matanya. Bahkan, ucapan Veron tadi pagi masih terngiang jelas.

"Udah gue bilang itu bukan gue! Tapi Samudra!" sela Raga meninggikan intonasi bicaranya.

"Samudra, Samudra! Samudra udah mati, bangsat! Buat apa lo bawa-bawa Samu?! Dia udah mati gara-gara lo juga kan, sekarang mau bilang kerasukan gitu?!"

"Jaga bicara lo!"

"Lo nggak pantes jadi ketua, Ga. Sejak awal lo cuma manfaatin kita buat menuhi ambisi lo yang nggak seberapa itu...,"

Tangan Raga terkepal erat, ucapan Veron berhasil melukai hatinya. Veron dan Raga adalah pesaing utama di SMA Rothy, kesepakatan masa lalu membuatnya selalu mengalah dan membiarkan Raga duduk di tahta tertinggi dalam bidang akademik.

Mungkin, kali ini Veron merasa lelah. Dia lebih unggul dari Raga, namun yang dunia tau hanyalah Veron si pencundang dengan peringkat di bawah Raga, tidak pernah naik melampaui cowok itu.

Raga paham, setiap orang butuh pengakuan. Tetapi, Raga juga tidak memiliki pilihan lain. Sabita, sosok itu yang mendorongnya melakukan semua ini.

Oza mengusap bahu kanan Raga, berusaha menenangkan teman sebangkunya. "Ucapan Veron nggak usah lo inget-inget, Ga. Dia cuma lagi sedih aja karena sahabatnya masuk rumah sakit, lo tau sendiri kan kalo mereka udah deket sejak kecil."

"Bukan gue yang bantai anak-anak Lavegas, Za." Raga menatap Oza dengan mata memerah, baru kali ini Oza melihat Raga seperti itu. "Bukan gue juga yang bunuh Samu--"

"Gue tau," Oza menggenggam kepalan tangan Raga agar sedikit merenggang. "Walaupun lo keras dari luar, tapi gue tau lo nggak bakalan lakuin hal itu."

Raga menggeleng pelan. "Gue juga nggak pernah manfaatin anak-anak Lavegas buat diri sendiri. Gue bahagia punya mereka, gue bisa bertahan sampai sekarang juga karena anak-anak Lavegas--"

"Gue paham, Ga." Oza mengusap-usap punggung Raga, seraya menatap ke sekeliling yang begitu sunyi. "Lavegas hancur bukan salah lo, kita bisa perbaiki sama-sama."

Anak-anak sedang beristirahat, Oza pun melototi setiap orang yang hendak masuk, dan mereka sontak mengurungkan niatnya untuk memasuki kelas.

"Gue takut, Za." Raga menutup wajahnya menggunakan kedua tangan dengan siku menumpu pada meja.

"Gue takut kalau kalau gue nyakitin orang yang gue sayang lagi, gue takut. Samu bisa dateng kapan aja, bahkan gue takut tidur sendiri di kamar, terus nyuruh Bik Ini tidur di depan pintu--"

"Lo nyuruh Bik Ini tidur di lantai?" komentar Oza sedikit terkejut dan menaruh rasa iba pada asisten rumah tangga Raga.

"Ya kali tidur sama gue, Za? Gila aja."

"Tapi nggak di lantai juga lah."

"Ya enggak di lantai, ada kasur anginnya."

***

Sea membuka pelindung motor Samu yang sudah berdebu hingga berterbangan di udara, gadis itu terbatuk dan langsung menghirup inhalernya sebanyak dua kali.

RAGASEA (END)Where stories live. Discover now