27. KONSEKUENSI

81K 11.7K 6.4K
                                    

"Apa di sana enak?" tanya seorang gadis berusia delapan tahun pada bocah laki-laki berseragam pasien yang duduk di tepi rooftop rumah sakit.

Gadis yang juga mengenakan seragam pasien itu bergegas naik dengan bantuan kursi roda dan duduk di samping Raga, kurva tipis terlihat di bibirnya.

"Jangan! Bahaya!" peringat Raga.

"Ada kamu, 'kan?" Pertanyaan retoris, Raga tahu ia tidak perlu menjawabnya. "Anginnya sejuk banget--"

"Pergi!" sentak Raga. "Gue bakalan lompat! Pergi kalau gak mau ikut ikutan jatuh!"

Gadis yang belum Raga ketahui namanya itu memutar kepalanya menatap wajah Raga. Dia tersenyum, kemudian menyodorkan permen mint.

"Buat kamu," katanya seolah tanpa beban.

Raga memalingkan wajahnya enggan. "Ga usah, simpen aja buat sendiri."

"Oh, kepala kamu kenapa? Berdarah--"

Raga segera menepis tangan mungil yang hampir menyentuh pelipisnya, terdapat luka lebam dan sedikit tergores di sana, bekas tamparan Sabita hingga ia terjungkal dan membentur pilar dinding.

"Pergi! Di sini bahaya!"

Sea menatap ke bawah, tinggi gedung itu terlihat seperti belasan meter. "Kamu bener bener mau lompat?"

"Iya, urus urusan lo sendiri!" usir Raga masih ketus.

"Kenapa lompat di sini?" tanya gadis berambut panjang yang dikuncir messy itu. "Nggak ada entul-entulnya di bawah, nanti sakit loh. Mendingan, main lompat-lompatan di trampolin aja. Di rumah aku ada, mau nyoba nggak?"

"Bukan gitu!"

"Terus gimana? Mau lompat lompat di kasur?"

Raga dibuat mengerutkan kening, bisa bisanya gadis itu tidak takut dan memilih untuk tetap duduk di sana. Padahal, Raga sendiri sudah bergetar dan urung untuk melompat.

"Lo nggak takut apa duduk di sini?" Raga mengalihkan topik.

"Kenapa, kamu takut ya?" ejek Sea.

"Enggak lah!"

"Bhaaa!" Sea mendorong bocah laki-laki itu ke samping, dan dia langsung berteriak histeris.

Sea terbahak. "Katanya mau lompat?"

"Tapi gak didorong juga," Raga memundurkan pantatnya sehingga kakinya tidak lagi bergelantungan.

"Bilang aja takut. Sekarang turun ke lantai 7 aja yuk, aku punya cokelat di kamar."

Raga terus membelai gelang hitam di pergelangan tangannya, ucapan Manda berhasil membuatnya kembali pada masa lalu.

"Kalau itu bukan Manda, apa Aga nggak akan sayang lagi sama Manda?"

Kalimat itu terus mengusiknya tanpa henti, tertahan di sana tanpa jawaban yang pasti. "Apa ada orang lain?"

"Aga," panggil Manda menarik tangan Raga dan menggenggamnya.

"Udah istirahat aja, nggak usah khawatirin apa-apa. Sea nggak akan bisa nyakitin lo lagi, atau mau gue bawa ke rumah sakit?"

"Pecandu, selfharm, atau masuk rsj.. pilih!" Ucapan Sea bak narkotika yang berhasil menyerang otaknya, kalimat itu membuat Manda sensitif akan beberapa hal, terutama rumah sakit.

Karenanya, Manda menggeleng. "Nggak, nggak usah ke rumah sakit, Manda nggak mau ke sana."

Perlahan, Raga meraih tangan Manda dan memanggilnya lembut. "Manda!"

RAGASEA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang