46. PERKARA ABS

90.3K 12.9K 13.9K
                                    

"Sea diculik lagi sama Anang."

Dean berbalik, melihat tubuh Samu yang hampir tembus pandang. "Terus, kenapa lo ke sini? Kenapa nggak minjem tubuh Raga aja buat nolongin adek lo?!"

Dean kembali berjalan, tetapi Samu menghadangnya. "Buktiin kalau lo masih sahabat gue, An."

"Lo udah pukulin gue, terus nusuk perut gue, sekarang kayak gini? Di sini bahkan masih sering kesakitan, Sam." Dean menunjuk bekas luka di perutnya.

Dean melangkah, menembus Samu begitu saja. Ia berusaha untuk tidak tertarik dengan permintaan Samudra, meski di dalan hati kecilnya ia sangat mencemaskan Sea.

"Gue tau lo suka adek gue."

"Mau lo apa, Brengsek!" Emosi Dean sedikit terlihat, menunjukkan jika ucapan Samu ada benarnya.

Samu mengatakan sesuatu yang membuat Dean berubah. Setelah itu, Dean berlari keluar dari Markas Veritas.
...

Dean mengacak rambutnya, mengingat ucapan Samu tempo hari. Kedua tangannya mengait di depan dagu, berpikir.

Sejak tadi, Dean duduk di lantai dua sambil mengamati ring tinju yang kosong di lantai satu.

Beberapa saat kemudian, ia meraih jaketnya dan pergi bersama motornya menuju Markas Lavegas. Dean harus menemui Sea, hanya itu yang ada di pikirannya.

Usai memarkirkan motor di pelataran luas markas, Dean memasuki markas. Sempat ditahan oleh Jay, tetapi cowok itu berhasil melewatinya.

"Sea mana?" tanya Dean kala Melvin ikut menghadangnya.

"Pengkhianat mau apa lagi lo ke sini?!" Melvin melipat tangannya di bawah dada.

"Gue ada perlu sama Sea, ini penting."

"Minta ijin dulu sama Raga," Oza memberitahu.

Dean tidak merespon, ia malah berjalan menaiki tangga karena melihat gelagat Veron yang terus menatap ke lantai atas.

Oza menahan tangan Dean. "Raga bentar lagi sampai sini."

Dean menyibakkan tangannya. "Gue gak akan lama, ini soal Samudra."

Dean berjalan cepat menyusuri lantai dua, membuka beberapa pintu dan berakhir teriakan Sea yang baru keluar dari kamar mandi di dalam kamar.

Sea hanya memakai handuk sebatas dada hingga lutut, Dean pun langsung memalingkan wajah dan menutup pintu kamar rapat-rapat.

Naasnya, Raga melihat itu semua. Suasana hatinya yang sedang tidak baik membuat cowok itu semakin geram, Raga menarik Dean ke tengah ruangan dan memukulinya secara brutal. Lagi, Raga juga sedang melampiaskan amarahnya.

"Bangsat lo!" Raga menghajar Dean hingga terlempar ke rak dinding dan menjatuhkan beberapa vas kaca. "Gue bikin buta juga lo, udah liatin cewek gue!"

Raga menaiki tubuh Dean, memukulinya tanpa henti dengan kemarahan yang menggebu.

"Raga, berhenti!"

Oza, Melvin, dan Veron berusaha menghentikan Raga. Tetapi, mereka semua kualahan. Apa lagi Jay, hidungnya terhantam siku Raga saat hendak melerai hingga mengeluarkan darah.

Melvin mendekati Jay, membantunya menghentikan darah yang keluar. Sementara Oza dan Veron masih mencoba mengambil kendali atas kemarahan Raga meski selalu gagal.

"RAGA!" sentak Sea begitu keluar dari kamar, setelah berganti pakaian secara kilat.

Sea berlari menarik Raga menjauh dari Dean, ia bahkan memeluknya agar cowok itu berhenti memukuli Dean. Sea maju sambil mengeratkan dekapannya pada tubuh Raga, membuat Raga mundur hingga terpepet di dinding.

You'll also like

          

"Stop! Cukup, Ga." Sea dapat mendengar deru napas memburu Raga, ia terlihat sangat marah.

Oza dan Veron membantu Dean berdiri, lantas memindahkannya ke sofa lantai satu bersama Melvin dan Jay.

Sea menggenggam tangan Raga dengan posisi kepala masih menempel di dada Raga. "Cukup, Ga. Udah."

Sea menengadahkan wajahnya setelah Raga sedikit melunak. "Jangan mukulin orang lagi kayak tadi, Dean nggak sengaja masuk kamar."

"Brengsek! Dia udah liat lo cuma pakai handuk doang. Harusnya lo nggak cegah gue tadi, gue pengen matanya buta sekarang juga!"

"Bocah Squidward," Sea menajamkan matanya.

Raga marah, bahkan masih sangat marah. Namun, melihat wajah Sea membuatnya gagal. Pesona Sea selalu mampu membuatnya lupa akan hal-hal yang menyakitkan, terutama Mama.

Raga mengambil jaket khas anak Lavegas yang sempat terjatuh sebelum baku hantam terjadi. Ia memakaikan jaket kulit hitam berlogo Lavegas dengan lambang S itu ke tubuh Sea.

"Lo itu Ratu gue, Ratu Lavegas. Lo pantes dijaga, Peri Kecil." Raga mengusap pipi Sea. "Dan gue nggak suka lo diginiin."

Sea mengamati jaket yang mirip seperti milik Raga kini sudah melekat di tubuhnya. "Inii--"

"Maaf butuh waktu lama buat bikin jaketnya, Meng lemot banget kerjanya."

"Meng?"

"Iya, gue kan sibuk belajar. Nggak ada waktu buat itu, untung punya empat babu."

Sea tertawa pelan mendengar itu, mereka pun tertawa bersama, meski sedikit canggung karena baru saja menghadapi suasana yang menegangkan.

Sea duduk di sofa kecil yang berada di lantai dua dekat dinding kaca yang menghadap ke danau. Memberi obat merah pada buku-buku tangan Raga yang berdarah karena memukuli Dean.

"Kenapa mukulin Dean sampai kayak gitu?" tanya Sea. "Kayaknya bukan cuma gara-gara gue."

"Gak," sangkal Raga. "Nggak ada alasan lain."

"Percaya nggak percaya, gue bisa liat itu dari mata lo, Ga."

"Jadi, percaya, atau nggak percaya?"

"Ish!" Sea menekan luka Raga hingga Raga mengaduh.

"Sakit, Laut. Yang bener ngobatinnya," omel Raga memanyunkan bibir.

"Bocah banget jadi cowok."

"Bocahnya cuma buat lo, di depan orang lain gue nggak kayak gini, Laut."

Sea menatap Raga fokus. "Gue nggak suka lo mukulin orang, atau mukulin dinding, atau lakuin apapun yang endingnya bakalan nyakitin lo terus."

"Iya, Sea. Maaf," Raga menghela napas. "Ngontrol emosi nggak segampang itu."

"Gue tau, tapi lo bisa janji kan buat nggak berantem lagi?"

"Kalau nggak lupa."

"Raga!"

"Iya, iya, janji."

Sea membereskan kotak obat dan berdiri untuk meletakkan obat itu ke tempat semula, tetapi Raga sudah menahan tangannya lebih dulu.

Raga mengambil alih kotak obat di tangan Sea, kemudian meletakkannya di atas meja bundar kaca. "By, mau cuddle 100 kali."

"Ogah," tolak Sea membuat Raga menariknya hingga Sea duduk di pangkuan Raga.

"Gue ga lagi minta ijin, tapi ngasih tau aja biar lo ga kaget."

"Ga!" Sea ingin menjauh, tetapi Raga terus menahan perutnya.

RAGASEA (END)Where stories live. Discover now