22. FIVETY : FIVETY

81.2K 11.5K 4.3K
                                    

"Raga brengsek!"

IGD sangat kacau malam ini, anak-anak Lavegas yang tidak mendapatkan brankar sampai duduk berhimpitan di ruang tunggu sambil membawa stand infus juga kruk kaki.

Veron, cowok dengan tangan retak yang disangga menggunakan arm sling itu terus mondar mandir di depan pintu IGD, menunggu Raga yang tidak kunjung datang.

"Ver," Oza memegang bahu Veron. "Duduk aja, lo ngehadang pintu. Biar gue ke depan, nunggu Raga."

Oza berjalan keluar dari rumah sakit sambil mengangkat ponselnya, berusaha menghubungi Raga yang tidak ada kabar sejak beberapa menit yang lalu.

Drrrrt! Drrrrrttt!

Ponsel yang berada di atas meja kantor polisi itu terus bergetar, sementara sang empunya ponsel hanya terdiam dengan kepala menunduk. Keluarga Melvin sejak tadi memandangnya dengan tatapan marah, tentu saja, Melvin jatuh koma karena ulahnya.

Di sudut bibir kiri Raga terdapat noda merah yang masih baru, bahkan penampilannya terlihat acak-acakan. Cowok itu baru saja mendapatkan serangan dari Papa Melvin, pukulan telak tanpa balasan.

Jika bukan karena Pak Polisi yang duduk di hadapan Raga, mungkin Raga sudah menyusul Melvin di rumah sakit lantaran tidak ada yang melerai.

"Maafin saya, Om." Raga berkata penuh sesal.

"Maaf?!" Papa Melvin kembali bergerak, ingin menghajar Raga. Namun salah seorang polisi melerai mereka, sampai akhirnya Sabita datang bersama sekretarisnya.

***

Sabita keluar dari kantor polisi sambil menghela napas penuh amarah. Lalu beberapa detik kemudian, Raga menyusul dari belakang.

"Mah, maafin Raga--"

PLAK! Tamparan telak berhasil menyambut ucapan maaf Raga, kepalanya sampai menoleh kek kanan, perih menyelimuti, dan tatapannya pun semakin meredup.

"Olimpiade sebentar lagi, tapi kamu malah bikin masalah?!" bentak Sabita sangat kasar, dia murka, wajahnya memerah, naik darah.

"Mah, Raga bisa jelasin--"

"Beruntung, Mama punya koneksi, kita bisa damai dan kasih kompensasi! Kalau enggak, mereka bakalan bawa kamu ke pengadilan! Kalau sampai anak yang koma itu nggak bangun lagi, kamu bisa masuk penjara!"

Netra jernih Raga mulai berkaca-kaca. "Mah, dengerin Raga dulu--"

"Mama pernah bilang kan kalau kamu harus nurut sama Mama, jangan bikin masalah dan fokus sama peringkat kamu! Kenapa selalu aja nggak dengerin?! Kamu harus jadi sempurna kalau mau jadi anak Mama, jangan bikin Mama malu!"

Sabita menetralkan pernapasannya. "Beresin barang-barang kamu, sekarang juga kita ke New York!"

"Mah!" Raga menahan tangan Sabita. "Raga nggak mau!"

Dikirim ke New York sama saja seperti dibuang. Di sana, Raga hanya akan dituntut belajar tanpa mengenal istirahat. Tidak, itu sangat menyiksa baginya.

"Jangan ngebantah--"

"Raga bakalan dapetin medali di olimpiade kali ini, janji." Raga menggeleng. "Enggak, enggak cuma kali ini, tapi di olimpiade olimpiade berikutnya, Raga bakalan jadi juara sampai dikenal dunia."

Janji Raga terdengar manis di rungu Sabita, wanita itu sedikit melunak. "Kalau gagal?"

Raga menelan salivanya. "Raga bakalan turuti semua keinginan Mama."

"Termasuk pergi ke New York?"

Raga mengangguk-angguk, mengiyakan ucapan Sabita meski hati kecilnya berkata tidak.

RAGASEA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang