34. PASPOR

75K 10.9K 7K
                                    

"Udah, sana balik ke dalem!" Sea menarik Raga dan mendorongnya ke arah rumah sakit.

Raga keukeuh di tempat, seakan-akan masih ingin mengobrol bersama Sea. Namun, Sea begitu angkuh menyuruhnya pergi. "Cepetan sana, keburu Raga balik!"

Karena itu, malam ini Raga melamun dengan posisi duduk di brankarnya. Cokelat putih dan pink selalu berhasil menenggelamkan ingatnya pada hari itu.

Sejak hari itu juga, Raga sering pergi ke rumah sakit dengan berbagai alasan. Dia ingin menemui gadis itu lagi, sekedar mengobrol, atau hanya memakan cokelat seperti hari itu. Tetapi, ia tidak pernah menemukannya lagi.

Tiga tahun berlalu, dan ingatan Raga semakin memudar. Bagaimana bisa ia mengingat wajah seseorang yang hanya ia temui satu kali, bahkan hanya sekejap. Raga hanya dapat mengingat kenangan mereka, tetapi tidak dengan wajah Sea.

Hingga tiba akhirnya...

"Raga!" panggil Sabita ketika mereka menghadiri acara investor atau apa lah Raga juga tidak tahu, yang jelas di sana banyak sekali orang-orang berpakaian rapi kelas atas.

Sabita tersenyum dan mengibaskan tangan, memberi kode agar Raga mendekat. Tanpa basa-basi, Raga pun mendekat. Laki-laki berusia dua belas tahun itu dikenalkan oleh seseorang, yang sampai kini ia kenali sebagai Om Gio, Papa Manda.

Saat itu, Manda terus bersembunyi di balik tubuh ibunya. Ia hanya berani menatap dengan satu mata sambil terus memeluk lengan Nita.

Raga menatapnya sementara waktu dengan berbagai macam pemikiran pemikiran yang timbul di benaknya.

"Oh, gelang itu." Manda akhirnya keluar dari persembunyiannya dan mendekati Raga untuk menatap gelang hitam di tangan Raga lebih dekat lagi.

"Lo... tau?" Raga mengusap gelang yang tidak pernah absen melingkar di tangannya.

"Ini punya Manda," kata Manda membuat tatapan Raga berubah drastis, tidak dingin seperti sebelumnya.

Raga tersenyum. "Jadi itu elo?"

"Hah?" Manda sedikit bingung. Tetapi saat itu juga, Raga menarik tangannya. Lalu mengajak Manda mengelilingi villa milik keluarga Alvarez.

Sejak itu juga mereka menjadi lebih dekat.

"Apa selama ini gue salah orang?" gumam Raga mengingat Manda yang selalu mengalihkan topik pembicaraan kala ia membahas kejadian hari itu.

"Enggak kan, Manda nggak pernah nyangkal kalau itu bukan dia." Raga membuka botol yang masih tersegel, lalu meneguk beberapa mili air.

Drrttt! Ponselnya berdering, panggilan dari luar negri, sepertinya dari mamanya. Tanpa menunggu lama, Raga segera mengangkatnya.

"Sayang, kamu bener-bener nepatin janji kamu ya." Suara Sabita terdengar senang, membuat lengkung di bibir Raga kian timbul. "Kamu jadi juara yang dapet point sempurna, Mama nggak nyangka kamu bisa sehebat itu."

"Raga.. udah baik kan, Mah?"

"Sure.. kamu memang anak Mama, dan Mama bangga punya kamu."

Kehangatan nada bicara Sabita itu ikut menjalar di tubuh Raga hingga meluluhkan segala rasa sakit di hatinya.

Sudah lama, bahkan sangat lama, Raga tidak pernah merasakan hangatnya seorang ibu. Tetapi, sekarang ia benar-benar merasakan itu semua.

Karena Samudra.

'Mama bangga punya kamu.' Kalimat itu berhasil melekat kuat di kepalanya.

Mata Raga kian berkaca-kaca, ia masih tidak menyangka akan mendapatkan kata-kata itu meski melalui sambungan telepon, seolah semua usaha kerasnya selama ini terbayarkan.

RAGASEA (END)Where stories live. Discover now