5

98 8 19
                                    

"Kal, gue udah mutusin kalau gue bakalan pindah sekolah!" seru Rivo membuka obrolan pertamanya dengan Haikal. Di saat Haikal baru saja mempersilahkannya untuk masuk ke kamarnya.

Rivo kemudian duduk di sebelah Haikal yang berbaring di kasur miliknya. Mendengar penuturan Rivo barusan, Haikal langsung duduk dan mematikan ponsel yang sedari tadi dia mainkan. Sepertinya, pembicaraan Rivo kali ini lebih menarik daripada game di ponselnya itu.

"Heh? Jangan aneh-aneh deh, Riv!" sanggah Haikal merasa jengkel dengan Rivo yang selalu ingin berulah tanpa memikirkan konsekuensinya.

Rivo menatap Haikal dengan tatapan matanya yang meyakinkan Haikal, bahwa tidak ada yang aneh dari ucapannya. Ini memang sudah tekadnya dari awal. Rivo sendiri berpikir kalau tidak ada lagi waktu untuknya bermain dengan ucapan. Ucapannya yang sekarang ini adalah keseriusan, tidak ada kata bermain lagi dipikirannya saat ini.

"Gue serius, gue mau pindah ke sekolahnya Rindu," ucap Rivo mencoba menfokuskan matanya kepada Haikal agar Haikal tak lagi beranggapan kalau kata-katanya tidak ada yang aneh.

"Itu 'kan di luar kota? Lo mau berangkat sekolah subuh-subuh tiap hari?" tanya Haikal sambil mendorong pelan wajah Rivo yang menatapnya sedari tadi. Haikal merasa risih dengan tatapan Rivo terhadapnya.

"Ya, enggaklah! Gue bakalan nge-kos," jawab Rivo santai.

Haikal menarik napas jengah, kekesalannya tetap saja membuncah."Tolong ya, Riv! Lo jangan buta karena cinta, cuma gara-gara dia, lo mau pindah sekolah? Bego banget," ejek Haikal, kali ini Haikal tidak lagi mendorong wajah Rivo dengan pelan, tapi dengan kasar.

"Dengarin dulu, Setan!" kesal Rivo dengan menoel kepala Haikal jengkel, "Gue enggak cuma mau dekat ama Rindu aja, tapi temennya dia tuh, ada yang pake liontin yang pernah gue ceritain sama lo waktu itu," imbuh Rivo membenarkan maksudnya yang ingin pindah sekolah.

"Ha? Maksud lo Re---"

Rivo menoel kembali kepala Haikal dan membuatnya terhenti dalam pengucapan. "Belum pasti. Makanya gue mau cari tau dulu," potong Rivo.

"Oke!" Haikal berdiri dari duduknya dan berteriak, "Ma, Haikal mau pindah sekolah bareng Rivo. Boleh 'kan, Ma?!" teriak Haikal yang tiba-tiba ingin ikut pula.

Rivo pun menarik rambut Haikal dan menyumpal mulutnya. "Ngomong apaan sih, lo? Lo enggak usah ikut, Bambang! Yang ada 'ntar lo larang-larang gue lagi," ketus Rivo merasa kesal dengan Haikal yang juga ingin ikut bersamanya.

Pintu kamar Haikal terbuka dan menampakkan mamanya Haikal berdiri di sana. Seketika, Rivo segera melepas sumpalan tangannya pada mulut Haikal. Takut mama Haikal berpikir yang tidak-tidak dengan apa yang Rivo lakukan. Kalau mamanya Haikal menuduh Rivo ingin membunuh anaknya, bisa jadi masalah besar nantinya.

"Ada apa?" tanya wanita itu dengan lembut dan tidak mempermasalahkan tindakan Rivo.

"Haikal mau pindah sekolah, boleh 'kan?" sahut Haikal cepat sebelum Rivo kembali menghalanginya.

Mamanya Haikal tampak mengerutkan dahi. "Mau pindah ke mana? Kalian enggak bikin masalah lagi di sekolah 'kan?" selidiknya lagi karena Haikal yang tiba-tiba memutuskan ingin pindah sekolah.

"Ya, enggaklah, Ma! Kita mau pindah ke luar kota, sekalian belajar mandiri," terang Haikal dengan ceringan lebarnya.

"Mmm ... boleh sih, tapi harus janji enggak bakal bikin masalah lagi, bisa?!" tawar wanita itu dengan mengacungkan jari telunjuknya.

Duri (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang