42

32 2 8
                                    

Dua hari berlalu, tapi kesedihan masih saja menyelimuti. Keluarga yang mencoba Rivo satukan, kini sudah terwujud, meski tanpa hadirnya di sini. Keluarga yang dulunya kehilangan satu kepingannya, sekarang sudah kembali. Namun, mereka juga harus merelakan satu kepingan lain yang berperan sebagai pengganti dan tidak lagi bisa kembali. Sepenuhnya, dia sudah diambil kembali oleh Sang Kuasa yang mengatur hidup dan mati.

Di sini, di kamar yang biasanya Rivo tempati, Rindu tampak merenungkan diri. Duduk pada kursi belajar yang beberapa bulan lalu telah pemiliknya tinggali. Ruangan besar dan bersih itu, masih meninggalkan bau khas sang Pemilik yang sudah pergi. Wangi dari barang-barang masih mendominasi, seakan dia masih berada di sini. Tak sekali pun Rindu datang ke sini untuk menenangkan diri, yang ada setiap dia di sini hanya akan ada tangis yang menemani. Setiap kali bau khas itu menusuk hidungnya, setiap itu pula air matanya mengalir tanpa henti.

Selama dua hari ini pula, barang-barang di kamar ini tak ada yang menyentuhnya selain Rindu. Bahkan Engla pun tak ingin datang ke sana hanya sekedar untuk menyapu. Kala pintu kamar itu terbuka, Engla tak berani mendekatinya dan hanya menatapnya dari jauh. Dan setiap kali Rindu mengunjunginya, keluarnya pun selalu ditemani tisu.

Melihat putrinya yang seperti itu, Engla akan selalu menghampirinya dengan niat menghibur. Sengaja memberinya banyak pertanyaan agar apa yang gadis itu rasa bisa menguar. Namun, itu hanya percuma karena Rindu tidak akan memberi tanggapan apa-apa.

Kali ini, saat Rindu keluar dari sana, Engla langsung menyambutnya dengan sepiring nasi. Mencoba membujuknya agar mau makan karena semenjak di sini, Rindu sama sekali tak pernah melirik nasi. Kemaren, dia hanya memakan cemilan saja dan itu sedikit sekali. Hari ini, perutnya itu bahkan belum diisi. Karena itu, Engla menjadi khawatir, takut putrinya sakit gara-gara terlalu memikirkan kepergian Rivo yang memang menyayat hati. Memang benar, Engla di sini masih belum bisa mengakrabkan diri. Apa yang coba Engla lakukan, rasanya masih terlihat seperti bermain peran di pentas seni. Mengingat betapa jahat dulunya dia kepada anaknya itu dan sekarang dia memperlakukannya bak seorang putri. Namun, tak sedikit pun Engla ingin berdrama karena di sini dia benar-benar sudah menyesali.

"Reva, kamu makan dulu ya, Nak!" bujuk Engla kepada Rindu yang baru saja keluar dari kamar Rivo dengan sekotak tisu.

Lagi-lagi Rindu menolak untuk makan dan seolah dia tidak ingin mempedulikan kesehatannya. Rindu menggeleng lemah sebagai jawaban, kakinya terus melangkah menuju tujuannya, yaitu taman belakang rumah. Untuk itu, Engla menghentikannya dengan berdiri di depan langkah Rindu yang sudah diangkatnya.

"Kamu makan, Nak! Jangan seperti ini terus, kalau kamu enggak makan, nanti kamu sakit, loh!" ucap Engla dengan menyendokkan sesuap nasi.

Rindu mengelengkan kepalanya. "Rindu enggak lapar, Ma!" tolak Rindu halus. Bagaimanapun juga, Rindu tidak ingin melukai hati Engla dengan kata-kata.

"Reva, dengan kamu kayak gini, Rivo tetap enggak bakal balik lagi. Ikhlasin dia, biarin Rivo tenang di alam sana. Kalau sekarang Rivo liat kamu kayak gini, dia pasti kecewa. Dia ingin kita semua bahagia sama-sama, bukan seperti ini, Nak!" ungkap Engla dengan sedikit meninggikan suara.

Mata wanita paruh bayah itu bahkan sampai basah karena Rindu menolak suapan darinya. Pastinya itu sangat menyakitkan, serasa Rindu sengaja untuk membalas apa yang dulunya telah Engla perbuat padanya. Seakan Rindu sengaja menyiksa Engla agar dia bisa merasakan bagaimana rasanya diabaikan. Walau sejujurnya, apa yang Rindu perbuat sama sekali tak ada hubungannya dengan itu semua.

"Kalau benar Kak Rivo ingin kita bahagia, terus kenapa dia pergi, Ma? Kalau dia benar-benar sayang sama kita, dia pasti bakalan ada di sini buat ngerasain bahagia sama-sama," sahut Rindu dengan air mata yang tumpah dengan mudah.

Duri (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang