13

40 4 26
                                    

Sampailah Rivo pada tujuannya, tapi yang ditemukan hanya kosong tanpa manusia. Tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar sekolah. Hanya ada kendaraan yang berlalu lalang di jalan depan, tapi tidak ada yang berdiam di sana. Seketika Rivo berpikir buruk ke depan karena mungkin saja perkataan Haikal ada benarnya. Mungkin saja dia benar-benar diculik seseorang yang mungkin menyukainya. Ini masalah besar kalau memang itu benaran ada. Perlahan Rivo mengendarai motornya dan meliarkan pandangan ke mana saja yang mungkin mempertemukannya pada seseorang yang mencurigakan.

"Shhttt! Shhtttt!"

Entah itu suara burung apa yang berbunyi di atas pohon seberang jalan sana, Rivo tidak peduli sama sekali. Dia masih fokus dengan kecurigaannya yang memungkinkan seseorang menculik atau menyembunyikan Haikal di sekitar sana. Orang-orang yang punya bawaan besar adalah targetnya. Kalau Rivo menemukan yang mencurigakan maka dia akan langsung menyergapnya. Begitilah pikirnya.

"Shhtttttt!" Burung itu masih bernyanyi di sarangnya, tapi kali ini lebih terdengar jelas dan serak.

Rivo pun tidak bisa untuk diam saja, tentu dia penasaran dengan suara burung itu yang tidak ada bagus-bagusnya. Pada akhirnya, netra hitam miliknya menemukan sosok Haikal yang turun dari batang pohon sana dengan hati-hati. Setelahnya, Haikal membersihkan kedua telapak tangan yang kotor oleh pegangan pada batang pohon. Kini, suara yang Rivo kira suara burung itu ternyata berasal dari Haikal. Pantas saja suaranya terdengar seperti suara-suara beban keluarga.

"Ngapain?" tanya Rivo heran.

"Ngapain? Ngapain? Cepetan pulang!" kesal Haikal sambil menaiki motor dan menyambar segera helm yang ada di spion kanan.

"Ih, ngambek!" ledek Rivo sambil menjalankan motornya.

"Ya, elo sih! Lo tau enggak---"

"Enggak!" potong Rivo.

Dengan kesalnya, Haikal mendorong kepala Rivo ke depan. Ada amarah yang ingin dia luapkan, tapi ditahannya karena Rivo sedang berkendara. Jangan sampai dia celaka hanya gara-gara Rivo yang tidak beretika, memotong pembicaraannya yang jauh dari kata selesai. "Gue belum selesai ngomong. Gue tuh, tadi dikejar-kejar sama cewek-cewek sekolah kita. Lo sih, enak bisa sama Rindu, lah, gue? Malah harus naik pohon rindang begini biar enggak dikejar lagi," terang Haikal dengan ketus.

Mendengarnya saja Rivo sudah terkekeh, apalagi kalau dia yang menyaksikan sendiri bagaimana Haikal harus menaiki pohon untuk bersembunyi. Akan sangat menghibur pasti. "Itu namanya lo beruntung! Logika aja nih, ya gue nganterin satu cewek dan lo disamperin banyak cewek, beruntungan mana coba? Satu atau banyak? Syukuri aja, nikmatin kegantengan lo itu," tutur Rivo masih dengan kekehannya.

"Beruntung gigimu! Hampir lecet nih, muka gara-gara manjat pohon. Dikejar-kejar itu enggak enak, sumpah! Kalau Azura yang ngejar, gue mah enggak bakal lari. Diam di tempat dan menanti! Ah, jadi kepikiran dia lagi!" terang Haikal yang perlahan kesalnya disambung dengan senyuman seperti orang gila.

Kini Rivo yang berhenti tertawa, alisnya berkerut sedikit samar. "Lo suka sama Azura?" tanya Rivo sedikit kaget pastinya.

"Kagak! Gue suka sama Zaka!" ketus Haikal, lamunannya tentang begitu cantiknya wajah Azura harus hilang begitu saja. Karena ucapannya sendiri, pikirannya bahkan membawanya untuk memikirkan wajah menyebalkan Zaka, "Ya, iyalah gue suka sama Azura, ya kali enggak," imbuhnya untuk menyingkirkan wajah Zaka dari benaknya.

Duri (End✅)Where stories live. Discover now