25

33 5 0
                                    

Saat itu, Rivo masih berumur enam tahunan. Bersama gadis kecil di dalam genggaman, Rivo membawanya berlarian. Gadis dengan sikap lugu yang berlebihan, apa pun yang orang lain katakan, gadis itu akan menurut dengan sebuah senyuman. Hal itu pula yang membuat Rivo tak pernah memberinya teguran. Membiarkan gadis itu melakukan apa saja yang dia inginkan. Dengan kata lain, Rivo terlalu memanjakan.

Rivo dan gadis itu selalu bermain di depan rumah, apa pun kegiatan mereka, hanya akan diisi dengan tawa saja. Tetapi, hari itu berbeda, hari di mana kejadian memilukan itu tepat di depan mata. Yang mana, gadis yang selalu dengan tawa ceria itu bermain di tepi jalan sana. Dengan adanya mobil yang berlalu lalang di depan rumah, kecelakaan itu tak bisa dihindari sama sekali. Rivo kecil sampai berteriak ketakutan dengan apa yang baru saja dia saksikan. Bagaimana darah itu mengalir deras lewat lengan dan pada bagian kepala gadis kecil itu. Langkah Rivo tentu langsung berlari ke sana dan memeluk gadis itu dengan sekencangnya.

"Ipo, sak--kit!" rintihnya dengan ucapan untuk terakhir kalinya Rivo dengarkan.

🌹

Napas Rivo tampak memburu dengan posisinya yang langsung duduk seketika. Wajahnya pun berkeringat banyak dengan mata yang liar mencari segala sudut di mana gadis kecil itu berada. Tetapi, yang ditemukannya hanya sosok Haikal yang langsung berdiri dari kursi. Wajah khawatir Haikal masih tampak dengan jelas, bagaimana takutnya dia jika Rivo kenapa-napa.

"Lo udah sadar?" sosor Haikal dengan sorot mata yang mulai berusaha mencari ketenangan agar tak lagi khawatir.

"Kal, Reva mana?" tanya Rivo membalikkan pertanyaan, mengingat mimpinya tadi yang memutar kembali kejadian pilu di masa lalu.

"Reva? Gue denger tadi lo keserempet, ini lo keserempet motor atau keserempet setan, sih? Mana gue tau dia ada di mana," ketus Haikal dengan pertanyaan Rivo yang jelas-jelas tidak diketahuinya sedikit pun.

Rivo yang semula bernapas tak beraturan, kini berusaha kembali menetralkan. Kepalanya dia tundukkan dan tangannya meremas bad cover tempat dia semula tiduran. Berikutnya, Rivo tampak menggeleng seakan dia memghilangkan sesuatu yang mengalir lewat pikiran.

'Enggak, enggak! Gue mikir apa, sih?' batin Rivo berusaha menghilangkan pikirannya yang berpikiran tidak-tidak.

"Riv, daripada itu. Mending lo ngelakuin tes deh, kata dokter lo butuh perawatan. Emangnya lo sebenarnya sakit apa, sih?" tutur Haikal.

Rivo yang semula menunduk pun langsung mengangkat kepalanya. "Enggak, gue enggak mau tes apa-apa. Gue baik-baik aja!" tolak Rivo mentah-mentah dengan suaranya yang meninggi tiba-tiba.

Berbeda dari harapannya, Haikal kira Rivo akan menyetujuinya begitu saja. Namun, Haikal salah, Rivo ternyata langsung menolak dengan mudah. Seolah itu adalah hal yang sensitif baginya. Bahkan, dengan cepatnya Rivo membuka infus tanpa aba-aba, membuat darahnya langsung bercucuran dengan mudah. Setelahnya, Rivo langsung menyibak selimutnya dan menutup jalur darah pada bekas jarum infusnya. Kakinya dia bawa meninggalkan brangkar dan jelas dia hendak langsung pergi dari sana.

Sebelum itu dilakukannya, Haikal langsung mencegahnya dengan menarik punggung bajunya. "Lo mau ke mana?" tanya Haikal dengan kerutan samar di dahi.

"Gue mau balik ke kos!" sahut Rivo tiba-tiba ketus.

"Enggak bakal gue izinin. Lo di sini aja dulu, baru sadar juga. Emang apa salahnya sih, tinggal tes doang? Atau lo udah tau sakit lo apa?" marah Haikal dengan menyentakkan Rivo agar kembali ke posisinya.

Duri (End✅)Where stories live. Discover now