7

67 6 16
                                    

Di dalam kelas sana. Zaka menatap Rindu dengan mata teduhnya, banyak hal yang ingin dia tanyakan kepada Rindu. Setelah mata kecoklatan milik Rindu membalas tatapan dia, Zaka mengambil tangan Rindu yang teruntai di sisi tubuhnya. Perlahan, tangan Rindu yang dia pegang terasa bergetar karena Zaka sendiri yang memegangnya terlalu erat.

"Siapa mereka? Mereka yang waktu itu 'kan? Kenapa sampai pindah sekolah ke sini?" tanya Zaka sedikit terbawa akan emosi.

Rindu tampak meringis dan menggeleng lemah. "Enggak tau, aku juga baru ketemu mereka beberapa waktu lalu," bela Rindu karena memang itu adanya.

"Jangan boong! Pasti ada apa-apanya 'kan? Enggak mungkin ini kebetulan," ketus Zaka dan sedikit menarik Rindu agar lebih dekat dengannya.

Rindu menunduk dan berusaha melepas tangannya. Tanpa dia sadari, pun air matanya luruh tiba-tiba. Pasalnya, Zaka tidak pernah semarah ini hanya karena hal yang belum jelas kepastiannya. Padahal, biasanya kalau ada masalah, Zaka akan menanyainya tanpa marah. Entah kenapa, saat ini begitu berbeda, Zaka marah sekali hanya dengan Rivo datang ke sekolahnya yang dia pikir bukan suatu kebetulan belaka.

"Aku enggak tau," rengek Rindu dan masih dengan kepala tertunduk.

Perlahan, Zaka melepas cengkramannya. Ada bekas kemerahan di tangan Rindu akibat ulahnya. Merasa ceroboh dengan tingkahnya, Zaka tergagap sendiri dan kebingungan mau melakukan apa agar Rindu tidak lagi menangis dibuatnya. Ini untuk pertama kalinya dia membuat Rindu menangis, rasanya seolah dia tidak punya perasaan saja. Memeluk gadis itu adalah cara yang terlintas di pikiran. Seharusnya dia memang tidak melakukan itu hanya karena masalah yang belum jelas adanya. Dengan sekejab saja, perasaan marahnya tergantikan oleh rasa bersalah dan juga ibah melihat Rindu menangis oleh ulahnya.

"Maaf!" ucap Zaka pelan dan berharap tangisan Rindu bisa ia hentikan.

Sementara itu. Di luar sana, Azura sudah memimpin jalan untuk Rivo dan Haikal. Tidak ada canggung yang tercipta karena Azura mudah saja bergaul dengan orang baru. Kecanggungan yang tidak tercipta itu hanya berlaku sebentar saja. Karena setelahnya, pertanyaan Rivo memecah belah.

"Azura, boleh nanya enggak?" tanya Rivo memulai bersuara.

"Apa?" tanya balik Azura dan tersenyum menatapnya.

"Nggg ... lo anak pungut, ya?!" tebak Rivo dengan entengnya, seolah ucapannya tidak ada apa-apanya.

Seketika Azura menghentikan langkah, begitu pun Rivo dan juga Haikal yang mengikuti. Haikal bahkan sampai cengo sendiri dengan pertanyaan Rivo yang tidak ada santun-santunnya sama sekali. Bisa-bisanya dia bertanya seenak jidatnya tanpa memikirkan apa yang mungkin Azura rasa. Bukannya merasa bersalah, Rivo malah mengangkat sebelah alisnya sebagai isyarat kembali bertanya.

Dengan raut Rivo yang seolah masih bertanya dan bukannya merasa bersalah, Azura memberinya tamparan pertama. Tentu dia tidak terima dengan tebakan Rivo yang seolah mengejeknya. Memangnya atas dasar apa Rivo menuduhnya demikian? Sialnya, orang itu malah memegangi pipinya dengan tatapan heran seolah tidak ada yang salah dari dirinya.

"Jaga omongan lo, ya!" amuk Azura dengan kasarnya.

"Kenapa, sih? 'Kan gue nanya!" sahut Rivo dengan entengnya.

'Nih, orang bosan idup apa gimana? Nyari gara-gara nih, Setan!' batin Haikal dan bingung harus berpihak kepada siapa. Ingin membela Rivo, tapi di sini yang salah Rivo itu sendiri. Ingin membela Azura karena sudah direndahkan Rivo, takutnya Azura malah menganggapnya modus atau bagaimana. Apa diam bisa menyelamatkannya?

Duri (End✅)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt