21

34 4 0
                                    

Ini untuk ketiga kalinya Rivo mengajak Rindu jalan. Rasanya terlalu menyenangkan, sampai-sampai Rivo lupa bahwa dia hanya sebagai selingkuhan. Adanya Rindu bersamanya membuat Rivo lupa bagaimana pahit hidupnya selama ini. Rivo bahkan melupakan bagaimana luka yang orang tuanya tancapkan. Seakan Rindu adalah sebuah penghapus yang dengan mudah menghapus sakit yang Rivo rasakan. Tentu itu tidak akan berlaku selamanya, terkadang kala dia sendiri, perasaan itu datang dengan sendirinya. Mengisi kembali ingatannya yang selalu ingin dia tolak semua.

Sudah sedari pagi Rivo dan Rindu menghabiskan waktu bersama. Hari ini sekolah libur dengan adanya acara musyawarah kelas dua belas yang akan melakukan ujian try out. Tanpa mereka sadari, langit mulai menjingga dengan warna birunya yang ia pudarkan. Itu artinya, pulang ke rumah harus segera mereka lakukan. Jangan lupakan kalau Rindu berasal dari keluarga sederhana. Artinya, menghabiskan waktu seharian hanya untuk bermain bukanlah gayanya. Pastinya, di rumah dia punya pekerjaan sendiri yang tidak akan bisa selesai begitu saja. Ditambah lagi dengan bapaknya yang kadang kala menaikkan suara kala memarahinya. Oleh karena itu, bergegas Rivo melajukan motor agar segera sampai  di rumah Rindu dan tidak begitu menimbulkan masalah.

Sesampainya di rumah Rindu, Rindu langsung masuk begitu saja. Tidak sempat waktu untuk menawarkan persinggahan kepada Rivo. Tak hanya takut dimarahi saja, tapi Rindu juga mengkhawatirkan Hany yang mungkin ikut terkena imbasnya. Ya, memang begitu sosok bapaknya, salah satu dari anaknya yang berbuat masalah, maka keduanya akan mendapat hukumann. Tentu saja karena kalau salah satu dari mereka bersalah, maka yang satunya lagi seharusnya membenarkan agar kesalahan itu bisa dielakkan. Memang begitulah seharusnya hidup bersaudara, bukan diam di kala salah satunya berbuat salah.

Melihat pintu rumah Rindu sudah tertutup rapat, Rivo hendak langsung kembali ke kosannya. Keringat kini sudah membasahi tubuhnya, bukan karena cuaca, tapi karena memikirkan bagaimana Rindu nantinya. Karena sebelum ini Rivo juga sudah pernah mendengarkan dari Rindu, bahwa waktu itu dia dimarahi orang tuanya karena terlambat pulang ke rumah. Masalahnya waktu itu pun Rivo menyebabnya.

Ponsel pada saku celana kirinya berdering pelan yang membuat Rivo terhenyak saat melangkah. Perasaannya masih belum stabil, dering ponsel justru meneriakinya yang membuat Rivo sedikit terkejut.

Kontak yang bertuliskan Papa itu bersinar di layar ponselnya. Buru-buru Rivo mengangkat agar Ramon tak bertanya kenapa dia lama mengangkatnya. "Hallo, Pa!"

"Rivo, papa sama mama sudah resmi bercerai," ucap Ramon diseberang sana. Dari nada suaranya yang pelan, Rivo bisa memastikan kalau itu bukan candaan, lagi pula Ramon sangat jarang menebar candaan.

Ada sedikit denduman sesak di bagian dadanya mendengar apa yang baru saja Ramon beritakan. Rivo memang membeci Engla mamanya, tapi kalau perpisahan itu bisa dihindarkan, maka Rivo akan menghindarinya. Namun, sekarang sepertinya sudah tak lagi bisa diluruskan. Keluarganya sekarang benar-benar sudah berpisah menjadi cabang-cabang baru yang menusuk jantung Rivo. Rasanya sangat menyakitkan, hingga Rivo ingin memuntahkan semua yang tertanam dalam hatinya.

"Ng ... kapan, Pa?" tanya Rivo setenang aliran sungai yang mengalir. Meski di dalamnya Rivo merasakan ombak bertemu badai yang mengerikan. Sehingga Rivo merasakan getaran keputusasaan dari seluruh ujung jemarinya.

"Dua hari yang lalu! Maaf, papa baru kasih tau sekarang! Papa juga sudah kirim alamat baru papa ke nomor kamu. Papa harap kamu bakalan tinggal sama papa!" jawab Ramon dengan suara yang semakin memelan.

Rivo cukup yakin bahwa Ramon di ujung sana sedang menahan isakan yang terus memaksa ingin keluar. Rivo juga bisa merasakan dari suaranya, Ramon menyelipkan beribu harapan yang terdengar samar. Suara yang juga meminta Rivo untuk tetap tegar, meski rasa sakitnya terus menyebar.

Duri (End✅)Where stories live. Discover now