33

45 3 6
                                    

Heboh di saat jam pelajaran berganti dengan jam istirahat adalah hal yang wajar. Begitu pun di kelas ini, bergerak layaknya belut dan berkoar layaknya murai. Seperti biasa, jam istirahat ini akan diisi oleh lima sekawan dengan makan di kantin. Namun, dengan nakalnya Rivo malah seenaknya tidur di bangkunya. Tidur di atas sebuah buku, dengan berbantalkan tangan. Sudah dari jam pelajaran kedua ini dia tidur seenaknya. Dengan buku lain ditempatkannya di depan kepala. Guna untuk menghambat pandangan guru yang tadinya mengajar.

"Woi, Riv. Bangun, udah istirahat!" panggil Haikal dengan sedikit mengguncang bahu Rivo.

Namun, Rivo tetap diam di posisi, seakan tak terusik dengan suara berisik. Sejatinya Rivo memang susah untuk dibangunkan, terutama kala dia baru sebentar terlelap. Untuk itu, Haikal mengguncang bahunya lebih kuat agar manusia kerbau itu segera bangun dari mimpinya.

"Woi, banguuunnn! Bakso udah manggil-manggil dari tadi." teriak Haikal tepat di depan telinga Rivo.

Masih saja tak ada respon darinya, sementara tiga orang lainnya setia menunggu di pintu ke luar. Ada candaan yang saling mereka lemparkan. Terutama Zaka yang senantiasa memberi dua orang itu hiburan. Dua wanita yang menjadi pelengkap dari bahagia yang selama ini dia dekap.

"Riv!" Panggil Haikal sekali lagi. Kali ini Haikal ikut mengguncang tubuh Rivo dengan kedua tangannya.

Guncangan yang Haikal lakukan, membuat kepala sang empunya bergerak pelan. Bukan karena dia sudah bangun dengan guncangan yang Haikal lakukan. Namun karena guncangan itu sendiri yang terlalu kuat. Terlihat, mata itu tetap terpejam sampai Haikal bisa menyaksikan wajah pucat itu seakan tak lagi berdarah.

Detik berikutnya, tangan Haikal serasa melemah dan langsung berefek getaran pada jemarinya. Darah yang seharusnya mewarnai seluruh wajah Rivo, tampak oleh Haikal sudah mengalir ke buku yang ditidurinya. Pada hidungnya bisa Haikal lihat bekas darah yang sudah mengering. Berikutnya, masih dengan getaran yang sama, Haikal menyentuh pipi Rivo dengan punggung tangan. Merasakan bagaimana dinginnya tubuh yang mulai mengurus itu.

"Riv---" panggilnya sekali lagi dengan suara bergetar dan hampir tak keluar.

"Riv, w--woi lo kenapa?" ujar Haikal lagi dengan suara yang jelas berusaha meninggi.

Candaan di depan pintu sana seketika terhenti mendengar Haikal yang bersuara terdengar ketakutan. Tiga pasang langkah itu langsung berlari begitu saja kala melihat di dalam sana Haikal kepanikan. Posisi Rivo yang hanya sedikit mengalami perubahan itu juga menjadi alasan langkah mereka bergerak masuk.

"Kak Rivo?" panik Rindu saat buku yang dipenuhi darah itu mengambil perhatiannya.

"UKS, cepet!" usul Zaka dengan sigap menaikkan Rivo ke punggungnya.

Sementara Haikal hanya bisa mengikutinya dengan cepat. Melihat Rivo dalam kondisi itu, Haikal tidak bisa berbuat apa-apa. Pemandangan itu seakan memaksa dirinya untuk merasakan ketakutan saja. Tanpa otaknya harus berpikir untuk membawanya ke UKS segera. Tangan yang semula hangat menyentuh Rivo, kini sudah mendingin di setiap ujung jemarinya.

"Kak Rivo kenapa, Kal? Dia sakit apa?" tanya Rindu dalam pelarian menuju UKS.

Tidak ada jawaban yang bisa Haikal berikan. Mulut itu terkunci, enggan memberi jawaban. Bukan hanya karena Haikal tak ingin menjawab pertanyaan, tapi memang karena Haikal sendiri tak tahu dengan jawaban dari yang ditanyakan. Pertanyaan itu hanya membuatnya merasa kesakitan. Karena itu membuktikan Haikal tidak tahu apa-apa tentang Rivo yang katanya dianggap sebagai adik kesayangan. Nyatanya Haikal masih kurang pengetahuan dan kurang perhatian untuk disebut sebagai kakak yang pengertian. Haikal seakan dituding sebagai orang asing dari kehidupan Rivo yang selama ini berjalan.

Duri (End✅)Where stories live. Discover now