38

30 4 2
                                    

Hampir satu jam pelajaran Rivo meminta izin keluar. Namun, sampai sekarang pemuda itu belum juga kembali. Membuat Haikal langsung tak tenang duduk di posisi. Matanya selalu melirik jam di dinding kelas, menunggu habisnya waktu pembelajaran Biologi. Sementara Rindu hanya mengira bahwa kakaknya itu sengaja bolos karena Rivo kurang suka belajar Biologi. Sebab yang pemuda itu suka hanya mata pelajaran olahraga dan seni.

Tak bisa jernih dalam berpikir, Haikal memberanikan diri utuk meminta izin. Meski dia tahu, guru Biologi tidak akan mengizinkan keluar kelas jika masih ada orang yang belum kembali setelah izin.

Haikal melangkah ke depan sana. "Bu, izin ke toilet! Perut saya sakit!" izin Haikal dengan posisi tangan memegangi perutnya.

"Enggak boleh! Rivo belum kembali, kamu pasti janjian bolos sama dia 'kan? Udah hampir satu jam pelajaran minta izinnya, belum juga balik-balik. Kamu pikir saya lupa, teman kamu masih di luar sana?" omel guru itu karena merasa ditipu oleh Rivo yang belum juga kembali dari meminta izin.

"Saya enggak bakal bolos kok, Bu! Beneran, ini perut saya sakit banget!" adu Haikal.

"Bohong, Bu. Drama dia tuh," ucap salah satu dari teman sekelasnya. Berniat mengompori agar Haikal tak diberi izin.

Kalau Haikal dibolehkan izin, maka tak tertutup kemungkinan dia dan Rivo memang merencanakan pembolosan. Untuk menjaga nama baik kelas IPA-c, pastinya akan ada saja orang yang melakukan pengomporan seperti yang barusan. Selama ini kelas mereka sudah dinilai kelas paling lengkap setiap harinya. Dengan kata lain, tidak ada di kelas mereka yang pernah bolos sekolah selain karena sakit saja.

"Duduk!" perintah guru itu dengan suara yang sangat jelas tidak bisa dibantah.

Untuk itu, Haikal terpaksa patuh dan kembali duduk di bangkunya. Matanya langsung tertuju ke pintu sana. Berharap Rivo segera kembali dengan keadaan yang baik-baik saja. Padahal belum jelas alasan Rivo tak kunjung kembali juga. Terkadang, Haikal terlalu berlebihan dalam menyikapi apa saja yang Rivo lakukan. Seperti pada malam sebelumnya, di mana Rivo keluar tanpa alas kaki dengan alasan menemui adiknya. Sementara Haikal mengikuti karena berpikir buruk tentangnya. Berpikir bahwa Rivo bisa saja sedang kesakitan dan sengaja menjauh agar Haikal tidak mengkhawatirkannya.

Tetapi, apa yang sebenarnya Haikal cemaskan wajar-wajar saja. Karena di sini Haikal menjadi orang satu-satunya yang mengetahui penyakit yang Rivo derita. Wajar kalau dia berlebihan, sebab Haikal juga menjalankan peran sebagai saudara. Pastinya akan terkesan berlebihan jika mereka hanya sebatas teman sekelas saja, tapi hubungan mereka sudah seperti orang sealiran darah. Terlalu dekat, sehingga masalah satu orang saja menjadi penyelesaian untuk keduanya.

Sementara di posisinya Rivo, dia saat ini berada di toilet sekolah. Mengurung diri di sana dengan wajah pucat yang sangat kentara. Seperti apa yang Haikal khawatirkan, lelaki itu sedang tidak baik-baik saja. Lelaki itu bahkan tak lagi peduli dengan tisu toilet yang menjadi penyumbat hidungnya. Sedari awal Rivo menyadari hidungnya berdarah, sampai sekarang darah itu tak kunjung berhenti juga. Padahal sudah hampir satu jam dia di sana. Namun, darahnya masih saja menetes dengan mudah. Entah sudah berapa banyak tisu yang dibuangnya untuk membersihkan darah, yang jelas Rivo tidak mempedulikannya.

Niatnya untuk tidak membuat orang lain khawatir pun dikesampingkannya. Sudah cukup rasanya dia tersiksa dengan sakit kepala dan hidung yang berdarah. Rivo pun mengambil ponsel di dalam saku celana. Menghubungi siapa saja yang pasti bisa membantunya. Melihat nama Haikal yang terpampang pada log panggilan paling atas, Rivo langsung memencetnya. Menghubungi segera meskipun dengan keadaan susah payah. Tangannya itu bergetar dengan getaran yang cukup parah. Sampai-sampai Rivo hampir menjatuhkan ponselnya, untung masih bisa Rivo kembali menangkapnya.

Duri (End✅)Where stories live. Discover now