Chapter 18

369 52 4
                                    

Malam begitu cerah seharusnya  tapi entah kenapa hujan tiba-tiba saja datang saat Renjun hendak keluar demi menghindari interaksi dengan keluarganya yang sudah lengkap kembali. Mama dan Papa baru saja tiba siang tadi. Sedang Jeno, adiknya itu dengan segala perjuangannya berhasil membujuk Renjun agar pulang meski sebentar, sekedar untuk bertemu sesaat dengan mama dan papa yang katanya kangen.

Di teras rumah, Renjun menengadahkan tangannya keatas langit. Menikmati sensasi dingin dari air hujan yang mengenai telapak tangannya dengan beriringan. Dingin, itu yang dia rasakan namun tak membuatnya gentar.

Semakin lama, rintik hujan itu seolah mengajaknya menari, membuat Renjun tanpa sadar melangkahkan kakinya keluar, bertemu dengan guyuran hujan yang rapat. Dia memejamkan matanya sambil tersenyum, seperti bahagia tapi nyatanya dia merasa sakit, sedih, kosong, dan hampa.

"Papa.." lirihnya

"Papa.."

Hujan, bisakah Renjun jujur dan berkata bahwa dia membenci hujan.?

Tapi karena papa melarangnya membenci hujan, Renjun tidak bisa membencinya. Padahal jelas, hujan yang membawa papanya pergi, hujan yang membuat Renjun merasakan terpuruk yang tak berkesudahan sampai saat ini.

Dan jelas pula, hujan adalah saat dimana Jeno meninggalkannya dalam sebuah luka, luka kecil yang sayangnya lama kelamaan membesar. Di saat hujan, Renjun benar-benar kehilangan bahagia dalam hidupnya.

Renjun mengeratkan kepalan tangannya kala airmatanya tak kunjung berhenti mengalir. Ingin rasanya dia menjerit namun seperti biasa, hanya gelak tawa yang dapat dia keluarkan. Kontras dengan rasa sakit yang selalu dia rasakan ketika hujan.

"Kenapa hujan. Kenapa harus disaat hujan, papa. Hahaha.." suaranya lirih, teredam oleh suara hujan yang makin mengeras.

"Kenapa.."

Hingga kedua lututnya tak lagi mampu menopang bobot tubuhnya, Renjun lemas, dia kedinginan juga, namun tak ingin beranjak dari sana, dia tak ingin meninggalkan hujan-meninggalkan kenangan manisnya bersama sang papa-

Disaat itulah Jeno datang, berdiri di belakang tubuh Renjun yang kini telah terduduk melipat kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya disana.

Jeno tahu, Renjun kini tengah menangis meski telinganya menangkap derai tawa dalam suara lirih Renjun.

Jeno melangkah lagi, semakin mendekat kearah Renjun. Dirinya lalu berjongkok, membawa tubuhnya condong kearah Renjun yang masih belum berkutik.

Rinai air hujan yang berjatuhan menerpa wajah tampannya saat Jeno mendongak kearah langit. Seperti meminta izin pada yang menguasai dunia, Jeno memejamkan mata. Dalam hatinya, segala rapal dan doa juga untaian maaf terucap.

Dan ketika membuka mata kembali, seperti sebuah kekuatan bercampur keberanian menyatu dalam dirinya, Jeno dengan mudahnya menggerakkan tangan kanannya mengusap pucuk kepala Renjun. Usakan yang dia hantar penuh cinta dan kelembutan.

Renjun kemudian mengangkat wajahnya yang sedari tadi tertunduk. Dua pasang mata itupun beradu, mata yang penuh akan pancaran rasa tak tergambar. Ada rindu disana, ada kecewa juga, tak lupa cinta yang memang terlihat samar namun masih bisa tertangkap meskipun abu.

Disini, dibawah guyuran hujan langit malam ini. Keduanya hanya terdiam, saling menatap satu sama lain tanpa ada kata apapun.

Jemari Jeno yang masih bertengger di pucuk kepala Renjun tak jua beranjak, tak jua ditepis. Renjun terlalu lemas, tenaganya seolah hilang bahkan untuk mengenyahkan jemari besar itu dari kepalanya. Lidahnya pun kelu, tubuhnya terlalu dingin, terasa beku hingga untuk berbicarapun terasa sulit.

Dear U || NorenWhere stories live. Discover now