Chapter 19

348 42 7
                                    

Dinihari yang tersisa, Jeno tak dapat menutup matanya. Dia lebih memilih menghabiskan malam ini sendirian, duduk di balkon menatap kearah langit yang sayangnya masih tertutup kabut pekat sisa hujan.

Jeno meremat kuat kedua sisi kemeja yang dia pakai saat kejadian beberapa saat yang lalu terulang di kepalanya.

Dia merutuki dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa selancang itu pada Renjun.? Bagaimana bisa dia memaksa agar Renjun tetap dalam dekapannya meskipun Renjun meronta, dan memohon dengan lirih agar dilepaskan.?? Kenapa dia selalu menjadi yang paling egois antara keduanya..?

"Bodoh, bodoh, bodoh." Jeno memukuli kepalanya berulang-ulang kali. Merasa benar-benar bodoh karena tidak bisa menahan diri.

Sepersekian detik berikutnya Jeno terdiam, tubuhnya meluruh kebawah dengan kepala yang tertunduk dalam.

'Kenapa harus gue, Jeno? Kenapa harus gue yang menderita sementara elo enggak?'

Suara Renjun yang lirih itu terdengar kembali di inderanya. Semua yang selama ini Renjun tutupi, semua yang dia rasakan sendiri, Jeno mendengarnya. Mendengar betapa Renjun tersiksa. Sendirian.

'Lo kemana disaat gue butuh lo buat jadi penopang? Lo kemana disaat dunia gue hancur? Disaat gue pikir yang gue punya cuma lo. Kenapa lo ikut hancurin hidup gue? Lo ikut pergi ninggalin gue, kaya papa'

Bagaimana bisa, bagaimana bisa dia membiarkan semuanya terjadi?

Seharusnya, dia tidak egois bukan?
Seharusnya, dia tetap bertahan kan?

Lalu kenapa dulu dia mengambil langkah yang dia buat sendiri tanpa berpikir panjang lagi?

Katanya, laki-laki itu tidak boleh menangis, tidak boleh cengeng, lemah. Tapi Jeno mengingat kembali kalimat papa Yuta dulu "jagoan gak boleh nangis, tapi kalo jagoan udah capek, keluarin aja biar lega".

Maka saat ini, Jeno mengikutinya. Dia menangis, dalam dinginnya malam, tanpa isak, tanpa suara. Jeno menumpahkan segalanya dibawah langit malam pukul tiga dinihari.

"Maafin aku, Ren. Maaf membuat kamu terluka sejauh ini." Disela tangisnya, lontaran maaf selalu terucap.

Jeno menyadarinya, segala yang terjadi adalah karena dirinya sendiri.

Andai, malam itu Jeno tidak berlutut dihadapan Jaehyun.
Andai, saat itu Jeno tetap berada disini dan tak memilih pergi.

Namun, keputusan itu telah dia fikirkan dengan baik. Jauh dari yang semua orang tau. Dia menangis sendirian saat itu, memilih sesuatu yang amat sulit dalam hidupnya.

Dia menyayangi Renjun, menginginkan Renjun hidup bahagia, bisa menikmati waktu sepanjang mungkin dalam hidupnya. Dan jika waktu itu Jeno tak mengambil keputusan ini, dia pun tidak tahu apakah dia masih bisa melihat Renjun Sampai saat ini atau tidak.

Dibalik kemejanya, tangan Jeno meraba pelan permukaan kulit perutnya sendiri. Luka bekas jahitan melintang masih bisa dia rasakan.

"Tapi aku gak pernah ninggalin kamu, Ren. Sedetikpun aku gak pernah pergi dari hidup kamu."

Luka ini, luka yang menjadi tanda. Luka yang menjadi bukti bahwa Jeno tidak pernah meninggalkan Renjun. Di setiap hela nafas yang Renjun hembuskan, setiap itu pula lah ada sebagian dari diri Jeno yang ikut merasakannya.

Karena mereka, Jeno dan Renjun telah menjadi satu. Tanpa Renjun tahu.

¤¤¤¤¤¤¤

Pagi menyingsing. Lepas dentingan sendok dan garpu beradu tak terdengar lagi. Keheningan melanda. Pukul setengah delapan pagi sang kepala keluarga Jung meninggalkan rumah diikuti Jeno, mereka berangkat bersama dalam satu mobil.

Dan kini, hanya tersisa Renjun dan sang mama yang masih terdiam satu sama lain di ruang makan.

Renjun masih sibuk dengan sisa roti gandum bakarnya yang ia makan kembali tanpa minat, sedang Winwin, Nyonya besar Jung itu hanya ingin menemani sang putra hingga sarapannya selesai.

Di tatapnya lembut Renjun yang sepertinya hari ini sedikit lesu itu. "Sayang, kamu gak papa.?"

Bukan jawaban yang di dapat, melainkan decitan kursi yang di dorong setelah hampir tiga puluh menit diduduki. Renjun beranjak begitu saja meninggalkan Winwin tanpa pamit.

"Bukankah itu keterlaluan.? Ketika kekhawatiranmu diacuhkan begitu saja oleh putramu sendiri.?"

Rasa jengkel tentu menghinggapi Winwin, selama ini dia selalu mentolerir sikap Renjun yang seperti itu. Namun kali ini, setelah dirasa toleransinya cukup, Winwin menguarkan rasa kesal itu.

Tetapi tak berselang lama, sebab Winwin kembali menyadari bahwa ini adalah salahnya. Renjun begini karena keegoisannya dahulu, dia pun sama, mencampakkan Renjun ketika kecil, membingkai keluarga harmonis namun dalam kepalsuan agar tumbuh kembang Renjun tak terganggu saat itu. Dan inilah karmanya, itu yang Winwin fikirkan.

Meneteskan airmata penyesalan pun percuma, karena semua telah terjadi. Winwin hanya bisa menghela nafas panjang dan membesarkan hatinya.

Mendengar gerung mobil Renjun terdengar, Nyonya besar Jung itu kemudian bangkit, meniliknya dari jendela ruang tamu.

Sial, dia melupakan sesuatu.

Sebuah tanya yang harusnya dia lontarkan kepada sang putra, apakah Renjun baik-baik saja setelah semalam bermain hujan.? Juga tentang alasan mengapa semalam bisa hujan-hujanan berdua dengan Jeno.?

Bukan dia tidak senang dengan kedekatan dua putranya itu. Hanya saja, entahlah Winwin merasakan sesuatu yang berbeda pada keduanya.

Mungkin hanya perasaannya saja, atau memang sesuatu terjadi tanpa dia ketahui.?

Entahlah..

-,-

Update after long time🥲🥲
Mau lanjutin aja sampe end meski otaknya udah gabisa mikir..

Dahlah, mau ngilang lagii💚💚

Dear U || NorenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang