Chapter 22

228 28 1
                                    

Sebetulnya, Renjun tak perlu ambil pusing tentang kejadian yang baru saja terjadi di kediaman Jung. Dia bisa acuh seperti biasanya. Tapi entah mengapa saat ini dia tidak bisa berlaku demikian.

Hatinya seolah tergerak kala melihat betapa kacaunya Jeno saat ini. Lelaki itu, lelaki yang membuat jiwa Renjun terguncang itu, nyatanya kini membuat perasaan Renjun tidak tenang.

Saat keluar dari rumah, tak sengaja Renjun menemukan Jeno memarkirkan mobilnya di sisian jalan. Dia melihat sekilas bagaimana Jeno tengah menangis, meremat kuat setir mobilnya seolah luka itu benar-benar terasa sakit. Beberapa menit Renjun ikut menghentikan mobilnya. Sebelum kembali melaju sebab Jeno menancap gasnya dengan kencang.

Kejar-kejaran antar kedua mobil keduanya tak terelakkan. Hingga Jeno kembali menghentikan monilnya di sebuah lapangan besar yang sama sekali Renjun tak tahu dimana.

"Jadi paparazi, huh.?" Jeno menatap kearah Renjun yang kini keluar dari mobilnya dengan nafas yang terdengar tersendat-sendat. Peluh kecil terlihat di dahinya, pun tak luput dari pandangan Jeno bagaimana tangan Renjun gemetar.

"Kamu gak perlu lakuin hal tadi, kalo kamu gabisa kebut-kebutan, Ren." Ucap Jeno sembari mencoba meraih tangan gemetar Renjun "aku tau, kamu gabisa berkendara dengan kecepatan tinggi, kejadian dulu.. "

"Dan lo harusnya gak sengajain ngebut kalo udah tau"

Jeno menatap takjub kearah Renjun yang kini terlihat sedikit cemberut, atau merajuk(?) kearahnya. Masih seperti dulu, lucu, menggemaskan.

Ada daya tarik yang tak kasat mata, seolah seutas tali menarik mereka hingga kini jarak keduanya hanya terpaut beberapa centi saja.

Ini, aneh bukan? Renjun tak merasa takut sama sekali berdekatan dengan Jeno seperti biasa. Badannya tidak gemetar sama sekali meski bertatapan sedekat itu dengan Jeno. Pun Jeno, dia merasa heran sebab Renjun bersikap tak seperti biasanya. Namun dia harus mensyukuri ini, setidaknya selangkah lebih maju baginya untuk kembali berdekatan dengan Renjun.

"Maaf" bagai kalimat sakral yang harus selalu Jeno ucap, kalimat itu tak pernah ketinggalan Jeno ucap kepada Renjun. Meski tak ada respon sama sekali dari Renjun.

Namun hal yang tidak pernah Jeno duga sebelumnya, membuat dirinya merasa tengah bermimpi. Ah, ataukah dia berhalusinasi?

"Gue bakal bantuin lo"

"Bantu?"

"Bantu wujudin apa yang lo bilang ke bokap lo barusan"

Jeno memejamkan matanya sesaat, dan berharap ketika dia membuka mata kembali dia sedang berada di dalam kamarnya. Tapi nihil, sebab ketika dia membuka mata yang dia lihat adalah wajah Renjun yang menatapnya dengan sungguh-sungguh.

"Bukan mimpi ternyata"

Renjun mendengus kesal, Jeno pikir dia itu tidak nyata apa? "Bodoh"

"Ya? Kamu bilang apa?"

"Gaada, gue gabilang apa-apa" kilah Renjun.

Kecanggungan seakan menguar entah kemana. Mereka mengobrol layaknya dua manusia yang baik-baik saja. Nyatanya salah satu tidak demikian.

"Jeno" panggil Renjun membuat Jeno terkesiap kaget bukan main.

Renjun menyebut namanya, untuk pertama kali setelah sekian lama, dan dengan suara lantang tanpa keraguan. Demi Tuhan, Jeno bahagia meski hanya seperti itu.

"Gue serius mau bantu lo kali ini." Ucap Renjun serius.

Entah apa yang Renjun maksud, namun yang pasti Jeno merasa bahwa jalannya semakin dekat.

Dear U || NorenDär berättelser lever. Upptäck nu