SATU

142 29 203
                                    


Salemba, Jakarta, 1989.

Aku teringat saat itu, angin sore menerpa kulitku.

Burung-burung gagak itu berkicauan di atas langit yang berwarna jingga kemerahan, pendengaranku seolah disuguhi dengan banyak suara mahasiswa yang riuh—melantunkan nyanyian sendu dengan beberapa rima yang tertulis salah satu dari mereka.


Bukankah surat cinta ini ditulis

Ditulis ke arah siapa saja

Seperti hujan yang jatuh ritmis.


Menyentuh arah siapa saja

Bukankah surat cinta ini berkisah

Berkisah melintas lembar Bumi yang fana

Seperti misalnya gurun yang lelah

Dilepas embun dan cahaya. 


Aku tersenyum, sedari aku mendengar nyanyian dari puisi "surat cinta". Oleh Goenawan Mohammad yang dilantunkan oleh mereka, akan tetapi aku memutuskan untuk hendak pergi dari kampusku dengan membawa beberapa lembar kertas yang tertekuk rapi di tangan kanan dan tas gendong yang kukenakan untuk kembali ke ruang yang paling teraman dan yang aku sukai, yaitu di rumah.

Mengapa tidak? Aku sudah nyaman bila yang "Hidup". Dalam duniaku hanya kedua orang tuaku, tidak dengan mereka yang sekonyong-konyong sok akrab menanyakan seluruh pertanyaan menyebalkan dan sok perhatian seperti; "Mengapa, apa, kenapa, bagaimana, siapa, berapa, dan juga kapan". Kepadaku. sungguh, bila aku dipilih hidup di kosmopolitan dengan orang-orang menyebalkan atau bersemayam di gua, lebih baik aku memilih berdiam diri ke gua hingga wafat.

Bagiku, berdiam diri jauh lebih menyenangkan dibandingkan seumur hidup sengsara dengan prahara kehidupan di kota.

Terlepas dari itu, langkah demi langkah hatiku terasa semakin lapang. Suara-suara riuh itu seakan lepas dari jiwa, hiruk-pikuk itu terusir sempurna dengan kesunyian yang sangat kental kurasa saat ini. Entah kepada siapa sunyi itu bertuan, aku hanya bisa berterima kasih pada Tuhan karena aku bisa bernapas lega.

"Aku benci ramai. Aku sesak dengan opini mereka," gumamku pelan sambil berjalan menuju gerbang keluar kampus.

Sosok beberapa mahasiswa yang tampak familier itu mendatangiku, dan bersapa kepadaku dengan melambaikan tangan, aku tak yakin ingat siapa orang-orang ini yang terlihat mengakrabkan diri meski aku tak mengenal salah satu mereka dengan baik.

"Mbak Laksmi!" sapa salah satu dari mereka yang mendekatiku. Sungguh sial, padahal aku sangat ingin keluar dari kampus dan ingin beristirahat dari di sini dan tak ingin bercuap-cuap salah satu dengan mereka.

Melihat mereka mendekatiku, entah mengapa bulu kudukku terasa menegang dan sesekali peluh keringatku menetes dari anak rambut di kepalaku. Senyuman mereka seakan ingin mengajakku bercakap-cakap dan membuang waktu di dunia yang begitu menyebalkan—tentu saja disini, aku ingin kabur dari tempat aku berpijak.

Sial, sial, sial! Aku ingin kabur dari sini! Umpatku dalam hati.

Dari beberapa langkah mereka lalui dan kini sukses mendarat di depanku. Salah satu mereka ingin berjabat tangan padaku, menepuk-nepuk bahuku yang seharusnya aku ingin terbebas dari belenggu ketidaknyamanan beberapa waktu lalu.

Aku bisa membayangkan berapa lama kulitku bersentuhan, dan berapa lama pula kupingku harus menopang untuk mendengarkan perbincangan mereka yang ngalor ngidul—tidak jelas dan juga abstrak di telingaku, mengapa mereka jauh berbahagia dengan berujar kurang lebih seperti ini,

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now