SEMBILAN

22 7 27
                                    


Sejak itu, semua takdirku terasa berubah.

Yah, tentu, tentang kejadian aku ditanya oleh Pak Djoko.

Semua mata kini menatapku dengan tatapan aneh dan tak diinginkan, tak jarang juga dari mereka ingin menemuiku, membicarakan tentangku secara terang-terangan. Sejujurnya, aku merasa tak ingin menjadi pusat perhatian mereka.

Risih dan gusar kini seakan mengetuk jiwaku, aku bahkan tertanya-tanya untuk cara keluar dari situasi yang tidak menyenangkan seperti ini. Daun telingaku seolah memanas ketika tak sengaja aku mendengar perbincangan di sekitarku dengan menatapku seperti orang rendahan.

"Lihat, itu Laksmi! Kamu tahu? Kemarin dia bereaksi aneh ditanya dengan Pak Djoko!" sindir di antara mereka, begitu juga mereka yang ber cekikik mendengar gosip aneh di antara mereka.

"Hahaha! Aneh sekali! Belum lagi, Dia dicurigai pengikut sekte aneh! Ah, tak mungkin ada paham Pesimisme! Bilang saja dia yang anti dengan sosial!" remeh mereka dengan penuh sesumbar. Rasanya ingin sekali aku melawan perkataan mereka yang menyebarkan berita palsu tentangku.

Berani-beraninya mereka menyebarkan palsu tentang aku, padahal aku tak mengenal mereka. Hah, jika aku mengamuk dan memarahi mereka satu persatu, bisa jadi aku sama seperti mereka—menghabiskan waktu dengan melakukan hal yang tak berguna.

Ditambah lagi, jika aku terlibat dengan mereka, masalah ini justru malah memperlebar dan tak keruan. Mau bagaimana lagi? Sudahlah, aku rasanya ingin menyerah, tidak ingin mencari validasi lagi. Sekecil apa pun itu kepada mereka.

Aku mempercepat langkah menuju kelas, dan aku berusaha untuk berpura-pura tidak mendengarkan mereka. Dengan hati yang sangat berat, aku menahan rasa kesal yang kurasa. Meski aku merasa ingin sekali kabur dari situasi seperti ini, aku tak ingin mengorbankan nilaiku.

Semua rasa amarah, kesal, bercampur menjadi satu. Memang aku berharap di awal, ketika aku berpindah dan hidup di Kota Jakarta kuharap akan lebih baik daripada di Jogja. Namun rupanya perkiraanku salah, sama saja.

Hidup seakan memberikanku tamparan keras, bahwa, "Kalau kamu memiliki pemahaman aneh, kamu akan diejek, dirundung, dan bahkan dihina oleh banyak orang. Dan kamu harus terima diperlakukan seperti itu di masyarakat."

Meski aku terasa tak perdaya saat ini, toh, ini juga bagian dari penderitaan, bukan? Percuma saja aku mencari pembenaran, toh, memang mulut mereka adalah diluar dari kehendakku. Diluar dari apa yang aku ingin, dan tak bisa aku kuasai.

Bila pepatah dulu berkata, "Tak semua orang di dunia ini adalah orang jahat." Lalu di mana mereka? Tak ada. Di mana mereka yang katanya akan berteman denganku? Tak ada! Dimana mereka yang berjanji untuk bersama di saat resah? Nihil!

Aku memilih hidup seperti ini karena bentuk kekecewaanku terhadap hidup! Ya, tentu! Mereka semua berbohong padaku! Dimana janji itu? Apakah mereka berpura-pura lupa dan menjauhiku? Palsu!

Sudahlah aku ingin berlari dari semua permasalahan ini. Terlalu muak bila kau mengingat masa laluku yang terasa sama seperti sekarang. Dirundung dengan orang yang bertanggung jawab. Bahkan kenalanku saja, Chitra mengabaikanku ketika aku menyapanya di bus kuning.

Begitu juga temannya, yang mulai menyindir-nyindir tentangku kemarin. Andai mereka tahu mengapa aku memilih jalan seperti ini.

Sudahlah, semuanya akan sama saja kejamnya.

***

Aku hanya bisa menerima keadaan bahwa diriku tidaklah baik-baik saja, buktinya saja aku hanya bisa terdiam sepanjang kelas dan dibangku yang kebetulan kosong. Meski kupingku panas dan berdengung, aku memilih untuk melamun, daripada aku berfokus kepada ucapan busuk mereka.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Onde histórias criam vida. Descubra agora