SEPULUH

16 5 9
                                    

"Apa pun yang orang lain lakukan kepadaku hari ini, itu tidak akan mempengaruhiku. Aku tidak akan marah, tidak akan kecewa, ataupun berbahagia, aku tak peduli dengan itu semua. Tetapi aku menerimanya sebagai tatanan semesta yang sudah digariskan kepadaku."

—Marcus Aurelius, Filsuf Stoikisme.

***

Aku berjalan menuju kelas dengan menenteng buku catatan yang tentu saja bukan miliku. Seluruh mahasiswa berlalu-lalang, semua bersorak, tertawa, memperbincangkan sesuatu yang aku tak pedulikan. Meski aku tertawa dan suka bercanda, sejak malam itu, seakan aku diperingati takdir bahwa aku harus berhenti menertawakan orang-orang yang mungkin ingin menghilang dari duniaku.

Seperti adikku sendiri dan juga Laksmi. Ah, mungkin aku terlalu banyak menduga. Tapi aku pikir, perasaan ingin hilang tersebut karena masa lalu? Atau peristiwa yang terjadi kepada mereka dengan serius? Seperti perbincangan semalam,

"Bang, Aku ingin menghilang dari Dunia, Aku sudah lelah dengan Tindakan mereka kepadaku."

"Mengapa begitu? Janganlah berputus asa."

"Sudah, cukup, Bang. Bapak dan Ibu tak ingin tahu, bahkan abang sendiri selalu bilang 'jangan berputus asa'. Dengan santainya seperti itu, seolah tak tahu perbuatan mereka! Apa aku sudah mencobanya? Ya! aku sudah mencoba itu! tapi Keadaanku selalu tak berubah! Hah, Tuhan seakan mati dan tidak menolongku!" sesalnya dengan berputus asa. Aku pun memeluk adikku, dan aku berbisik kepadanya tentang keberadaan kata-kata yang sangat tak pantas untuk diucap.

"Dik, hentikan, abang tahu apa yang kamu rasa," lirihku dengan menahan sedih. Dia pun terdiam, dia pun terdiam seribu bahasa.

"Dik, meski Tuhan itu tak kasat mata, jangan menganggap Tuhan itu mati, ya?" Aku membenarkan posisi dudukku dan menjelaskan dengan sederhana.

"Tapi, Bang. Di mana keberadaan-Nya saat aku dirundung? Mengapa Dia tak mengubah keadaanku seperti sekarang? Sudahlah, Bang. Abang terlalu banyak baca buku—" Aku menatap kedua matanya, dan aku merasa seperti dihina secara tak langsung. Aku mengerti dia sedang merada berputus ada, namun yang tidak bisa kupikirkan lagi, mengapa dia merasa dirinya korban? Kendatipun dia mengataiku dan merancau tak jelas menghina ilmu yang aku pelajari saat ini? Aku harus memanjangkan sabarku dan helaan napasku dengan berat.

Aku hanya bisa tersenyum dan menambahkan sisa-sisa kesabaranku. Untung saja dia terlahir di dunia ini sebagai adik kandungku, bila tidak sudah kumarahi.

"Terserah kamu saja menganggap Tuhan itu di mana, tapi yang pasti Tuhan itu selalu ada di hatimu, walau kamu enggak tahu dan tak meyakini-Nya bahwa dia selalu mengawasimu. Mungkin, dia tak mengubah nasibmu, agar kamu sadar fungsi do'a itu seperti apa." Aku berdiri dan sejak itu, entah mengapa aku merasa sedikit terusik dengan pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh adikku sendiri.

Hah. Melelahkan. Lebih baik aku menenangkan diri. Keluhku dalam hati.

Seluruh suara gelak tawa itu memecahkan lamunanku, dan aku berhasil kembali dalam kesadaranku.

Meski langkahku bergerak lurus menuju kelas, terkadang perasaan menggelitik ini ingin sekali membuka buku catatan milik Laksmi. Godaan itu selalu menggelitik diriku untuk membuka buku tersebut, namun apakah aku terlalu ikut campur bila aku membukanya?

Omong-omong Laksmi, aku selalu tertanya, mengapa dia terlalu mencolok bila dia ingin menghilang dari kami secara terang-terangan? Padahal, setahuku paham pesimisme itu tidak tentang menggali kedukaan lebih dalam dalam hidup, melainkan belajar tentang untuk tidak berangan-angan lebih jauh dalam masa depan kita. Apa dia salah memahaminya? Hah, mengapa aku memikirkan orang yang bahkan aku takt ahu batang hidungnya seperti apa? Mungkin saja ini kutukan dari bapak pemilik kelontong yang menyumpah serapah kepadaku agar aku mulai sedikit resah tentang orang lain.

Terlepas dari lamunanku, kupandangi kelas yang rupanya sudah sangat ramai bahlan lebih ramai daripada yang kukira. Meski aku hanya bolos kemarin, tapi terasa makin banyak dari yang biasanya. Langkahku menuntunku ke arah kelas yang cukup ramai.

Pandanganku melihat mereka satu persatu yang cukup ramai, banyak dari mereka menyapaku. Begitu juga aku yang menyapa para mahasiswi yang selalu kuhapal, mereka selalu mengejarku kemana aku pergi.

Bila kalian tanya padaku, aku menyukai bahwa aku seperti disukai oleh banyak perempuan, tapi entah mengapa aku merasa sedikit risih pula. Ah sudahlah, mungkin perasaanku kini teramat kacau bahkan aku tak paham tentang kemauan hatiku sendiri.

Mungkin saja mereka mendekatiku karena rupaku, prestasiku, atau dengan status keluargaku. Tapi memangnya itu bisa dibawa mati? Tidak, tidak, aku tidak boleh berkhayal lebih jauh dari ini.

Kutatap mereka satu per satu, namun ada sosok wanita yang sama sekali aku tak kenal. Aku memincingkan kedua pelupuk mataku. Tunggu, ada wanita yang seperti aku temui beberapa hari belakangan lalu, tepat sebelah Tji Beng dan juga Wiwik.

"Jangan dekati aku, dan kuharap kita takkan pernah bertemu lagi!" Lamunan itu seolah mengingatkanku dengan sosok perempuan yang menolongku dari tumpukan hutang di toko kelontong. Ingatan itu membuatku tersenyum, dengan seketika suasana hatiku menaik lagi, bahkan rasanya aku ingin mengerjai perempuan itu. Toh, siapa yang menolak dengan ketampananku ini? Aku berani bertaruh, Laksmi akan jatuh hati padaku!

Langkahku seketika ingin duduk di sebelah perempuan itu yang secara kebetulan kosong dan tak ada penghuninya. Aku pun memberikan isyarat menyapa Tji Beng, dan melihat Wiwik membisikan sesuatu kepada perempuan itu.

Kuusap mata kananku, dan aku melihat perempuan itu adalah perempuan yang sama dengan perempuan yang menolongku kemarin dari pukulan pemilik kelontong beberapa waktu lalu. Andai kalau tidak ditolong dia, mungkin aku hanya tinggal nama dan tak bisa pulang.

Wiwik melihatku dengan mata yang berbinar, dan menyapaku. Begitu pun juga perempuan itu melihatku.

"Oh, hai, Soerya! ini kenalin teman semasa orientasi, Laksmi!" ucapnya dengan riang gembira, melihat wajah perempuan itu, entah mengapa ada gejolak dalam diriku dan membuat hatiku berdebar-debar. Dia pun menundukkan kepala dan seperti berusaha untuk mengacuhkan diriku. Gemas sekali.

Aku pun tak sungkan untuk menjabatkan tanganku untuk mengenalkan diriku, meski dia juga menjabat tangannya, tetapi dia malah tidak melihat kontak mataku. Entah dia malu, atau tak menginginkan perkenalan kami dengan lebih lanjut.

"Namaku Soerya."

"La—Laksmi, Namaku Laksmi." Tangannya pun ia lepaskan dengan cepat, dia pun berusaha untuk tidak memberikan celah padaku untuk berkontak lebih lanjut, tapi tak mengapa, mungkin dia butuh adaptasi denganku.

Teringat dia ada disamping, aku pun ingin mengembalikan catatan kecil miliknya yang kusimpan dan tak aku buka sama sekali.

"Omong-omong, Laksmi, aku mengembalikan bukumu, yang sempat tertinggal—" Tangan kananku mengeluarkan buku miliknya, seketika tangan Laksmi ingin menyambar tanganku. Dengan gerakan refleks, aku menjauhkan buku kecil ini miliknya. Gerakan dia seperti berlawanan dengan pembawaannya yang cenderung malu, kenapa dia mendadak kontras sekali dengan sikapnya yang malu itu, seketika agresif ketika buku kecil ini ada ditanganku.

"Kembalikan buku itu, kepadaku, Soerya!" desisnya yang wajahnya memerah. Aku pun memanfaatkan momentum ini, aku melihat kedua matanya yang kupandangi ini sangat menggodaku untuk menjahilinya lagi.

Aku tersenyum lebar dan dengan posisi seperti ini, aku pun mencondongkan kepalaku untuk menjorok ke arah telinga kirinya. Aku pun berbisik kepadanya dengan intonasi suara yang memberat.

"Aku berharap, kita akan berteman baik, ya, Laksmi." Kutatap wajah Laksmi yang memerah dan mata kami kini saling bertaut, badan Laksmi melemas, dan aku mengembalikan bukunya di telapak tangannya dengan perlahan. 

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Donde viven las historias. Descúbrelo ahora