DUA PULUH LIMA

17 2 0
                                    

Sejak itu kedekatan kami menjadi sangat dekat, banyak kenangan kami terukir, hingga aku tahu jawaban yang terbaik diberikan oleh Pak Djoko. Memang benar apa kata Soerya saat itu. Hidupku tidak melulu tentang pesimis yang selalu menyelimutiku setiap harinya. Aku mengakui, bahwa saat itu memang aku salah persepsi tentang pesimisme yang menyebabkan aku salah mengambil langkah untuk keluar dari semua pertemananku, bukan untuk menghadapi hidup dengan memegang prinsip.

Ah sudahlah, aku tidak ingin terus menerus meruntuk dalam hidupku, aku harus menikmati hidup ini walau terasa menyebalkan. Ya, minimal aku menikmati pemandangan yang kulihat.

Aku duduk di atas genting di ufuk pagi, karena tidak bisa tidur semalam. Aku masih terngiang-ngiang dengan perkataan Chitra, perkataan teman-teman, dan terlebih khusus Soerya yang seakan membebaskanku dari belenggu pesimis dalam hidupku.

Sejujurnya, aku setelah mendengar perkataan dari Soerya aku tidak bisa tidur akibat dadaku yang masih berdebar hingga saat ini. aku masih merahasiakan apa yang terjadi semalam dari kedua orang tuaku ataupun orang lain, karena aku pikir tidak perlu aku memberi tahu kepada semua orang apa yang terjadi pada diriku semalam dengan Soerya, toh omongan yang seperti itu bukan dikonsumsi untuk publik, bukan?

Ah, aku rasanya seperti terlahir kembali. Menikmati kehidupanku di hari minggu pagi seperti sekarang, beban yang kupikul terasa menghilang dengan sekejap. Angin berhembus dan menerpa seluruh helai rambutku ke arah timur, aku merasa jauh lebih tenang dan berbahagia daripada hari-hari sebelumnya.

Badai yang menerpaku sudah berlalu, kebahagiaan mendatangiku secara perlahan seperti aku dipertemukan dengan teman-teman terbaik, belajar memaknai hidup dari awal, bahkan Tuhan mendatangiku dengan sosok yang baik seperti Soerya, dia mengajarkanku untuk berbahagia walau dengan melihat di sekitarku.

"Terima kasih, Tuhan," gumamku dengan penuh kesyukuran, kuharap, do'a ku terdengar di atas langit. Aku mengembalikan kenanganku tepat pada atap rumah. Aku teringat, pasa masa SMA aku mencoba untuk mengakhiri hidup dengan meloncati genting rumah yang tinggi. Namun, sekarang aku duduk dan terasa berbeda—lapang dan tidak ada yang menyakiti perasaanku sekarang.

Kata-kata menyakitkan saat itu, terucap ketika aku mengucapkan kata menyerah dalam hidupku, namun Tuhan berkehendak aku ingin berbahagia walau tidak sempurna. Tetapi ketidak sempurnaan itu yang menuntun hidupku jauh lebih baik.

"Mi, Turun! Kamu ngapain?" tanya ibu yang membuka pintu kamarku dari bawah.

"Oh, ibu, aku sedang melihat awan pagi," balasku. Ibu mencoba untuk aku turun dari atap rumah, aku pun turun dan sudah berdiri di hadapan ibu. kami pun pergi menuju ke ruang bawah, dan tepat di saat bersamaan aku mendengar banyak orang dan sepertinya suara motor itu berada di depan kami.

"Itu siapa, Bu?" tanyaku. Ibu pun melangkah lebih dekat dan mengintip dari celah jendela.

"Ibu rasa itu teman-temanmu, deh," jawabnya dan mengisyaratkan untuk mendekati pintu rumah, ibu menepuk-nepuk bahuku, aku mendekati ibuku dan melihat sosok di depan pagar rumah. Aku menerka-nerka siapakah sosok itu, dan aku melihat rupanya itu adalah Soerya dan kawan-kawan. Aku berbisik ke dekat telinga ibuku.

"Iya, Bu, itu Soerya dan teman-temanku," bisikku.

"Oke, Nak. Biarkan ibu menjamu kamu dan teman-temanmu untuk makan siang," ungkap ibu yang disertai bapak yang baru saja keluar dari kamar. Kulihat ibu menarik tangan bapak entah ke mana, sedangkan aku memberanikan diri untuk membuka pintu dengan perasaan yang berbeda.

Aku merasakan dahulu, aku membuka pintu rumah ini dengan seorang diri dan sunyi. Sedangkan sekarang, aku membukakan pintu untuk teman-temanku, kulihat Soerya yang tersenyum kepadaku. Chitra dan Wiwik yang sedang sibuk berswafoto di halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga yang bermekaran dengan memakai kamera analog yang dipotret Tji Beng, sedang Jasmoro, Djatmiko, sedang iseng bercanda satu sama lain, Yudhi pun sedang duduk santai di bangku pos kamling bersama Iwan dan Irwan sambil menunjuk papan karambol—yang aku bertaruh, mereka pasti akan bermain karambol. Tetapi itu bukan milikku.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें