DUA PULUH SATU

10 3 0
                                    

Seluruh bintang dan rembulan yang menerangi cahaya menuntun kami untuk ke rumah, aku masih tertanya-tanya apa yang terjadi dengan Soerya. Terlebih lagi, kejadian itu yang menimpa Soerya—yang selaku yang terkena pada "insiden" debat. Yah, katanya. Aku tidak bisa berspekulasi lebih apa dan mengapa itu semua terjadi padanya. Setidaknya, aku menyadari, semua orang memiliki masalahnya masing-masing.

Yah, sejak kemarin, dia tahu masa laluku. Dia tahu mengapa aku merasa menarik diri dari mereka, sudah tertahan bertahun-tahun silam akibat luka yang kurasa. Tetapi aku tidak pernah menduga, bahwa Soerya yang periang pun, memiliki Musuh yang bernama, "Adjie." Aku tidak tahu siapa dia, dan tidak tahu cerita di balik konflik Soerya dan juga Adjie. Maka, aku tidak bisa berbicara lebih jauh tentang hal itu.

Selama perjalanan, kami saling berdiam diri. Tentu, selain arahan rute perjalanan menuju rumahku. Tidak ada ruang dialog di antara kami. Canggung, malu, dan bingung menjadi satu. Membuka dialog saja aku sangat kebingungan mau membahas seperti apa, namun yang pasti, aku terheran mengapa Soerya terlihat tertarik kepadaku hingga mau merepotkan diri mengantarku pulang. Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tahu.

"Laksmi, setelah ini ke arah mana?" tanya Soerya sambil menyetirkan motor yang kami kendarai. Aku pun terkejut dan pandanganku mengedar ke arah gang menuju rumah, aku pun dengan sigap mengarahkan Soerya menuju rumahku yang berciri kan pagar putih dengan ornamen kayu dan juga bambu.

"Lurus saja, Soerya, nanti tanda rumahku ada tiang kayu," terangku dengan menunjukkan rumah. Soerya pun melaju pelan agar berhenti sesuai dengan arahan rumahku. Beberapa rumah berlalu, aku pun menepuk pundaknya yang tegap untuk memberhentikan motornya.

"Di sini, Soerya. ini rumahku." Aku mencopoti helm yang mengaitkan kepalaku, Soerya pun mematikan mesin motor vespa yang ia kendarakan.

"Ah, ini rupanya rumah Laksmi, oh iya, sepertinya itu orang tuamu menunggu, aku pamit duluan yah," ungkapnya dengan menundukkan kepala ke arah ibu dan Bapak yang terlihat sedang duduk santai di teras. Mengetahui hal itu, Bapak pun berdiri dan membukakan pintu pagar rumah.

"Eh gadisku sudah pulang, ini temanmu ya, Mbak?" tanya Bapak yang tersenyum kepada kami. Aku menganggukkan kepala, dan kulihat Bapak ingin berbincang kepada Soerya. "pak, Aku masuk ke rumah dulu ya," ungkapku dengan tersenyum tipis kepada Bapak dan ibu yang sedang ingin berbincang kepada Soerya.

Aku pun segera masuk ke dalam rumah, dan melihat mereka yang masih berbincang kepada Soerya. Aku terasa aneh dengan malam ini, sudah lama rumah ini terasa ramai sejak aku mengalami fase terendah dalam hidupku semasa SMA. Ah, sudahlah, abaikan. Aku ingin segera membersihkan diri dan ingin menguping—tidak, aku ingin menyimak dari jauh, karena tentu, aku tidak ingin dibilang sebagai penguntit, kau tahu?

***

Beberapa menit berlalu, aku masih mendengar gelak tawa yang renyah dari Bapak dan Soerya yang kupikir, dia memang lihai dalam berjenaka—aku bisa menduga, dia lebih cocok menjadi Komedian daripada seorang yang serius seperti Filsuf.

Ibu yang terlihat sibuk membawakan nampan berisikan beberapa jamuan kecil, seperti kopi hitam, dan juga beberapa kue kecil, yah, seperti; aneka kue Khong Gian, biji ketapang, dan keripik singkong yang sudah kuduga, yang aku simpan beberapa waktu lalu buat camilanku. Ibu memang benar-benar ... ah, sudahlah, aku pilih untuk diam saja. Aku harus menjaga citra diriku di hadapan Soerya.

Ibu pun membagikan sajian yang disuguhkan kepada kami. Aku duduk dibangku antara mereka, begitu juga ibu yang duduk bersama kami pada malam yang sejuk dengan semilir angin yang menerpa permukaan kulit. Di tengah-tengah perbincangan mereka, kudengar bapak membuka dialog untuk dibahas pada malam ini.

"Bapak bersyukur, Laksmi masih ingin berteman, Bapak khawatir Laksmi akan selamanya berdiam diri dan hingga enggan untuk menikah," syukur Bapak yang menyeruput kopi hitam yang panas. Ibu pun menepis kata-kata dari bapak yang memang seenaknya dan mungkin sengaja atau tidak, ingin merusak suasana malam pada saat ini. Aku ingin emosi mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Bapak yang aku berani bertaruh, lupa kejadian beberapa waktu lalu membuat hubunganku dengan Bapak tidaklah sehat.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now