TUJUH

28 10 54
                                    


Aku menatap wanita itu dari kejauhan, sungguh aneh. Tak seperti dengan wanita lain yang aku temui di kampus ini, selalu melihatku dengan tatapan yang berbinar—karena mungkin saja, banyak perempuan yang menemuiku mengaku bahwa diriku ini adalah tampan, populer, dan juga paket sempurna bagi mereka bagi kaum hawa.

              Tetapi aku baru pertama kali ada yang menatapku dengan tatapan menjijikkan, bahkan tatapan yang tak diinginkan. Yah, mengapa tidak? Perempuan yang tengah melunasi hutangku itu seperti tak ingin berhubungan denganku—bagai aku telah melakukan dosa terbesar dalam hidupku.

              Aneh, sungguh aneh! Mengapa dia tak ingin berkenalan denganku meski banyak wanita ingin berkenalan langsung dengan diriku?! Sesal dalam hatiku, aku melangkah jauh dari perempuan itu. Dan aku berpikir, tak mungkin aku kembali mengunjungi ke toko kelontong itu lagi, dan tak mungkin pula aku kembali ke kelas, meski banyak teman-temanku di sana, setidaknya aku sedang berbolos di kelas Pak Djoko—yah, pasti membahas dan meledek di belakangku, perihal yang telah kulakukan pekan lalu.

              Aku pergi ke tempat yang entah berantah yang dituntun oleh angin yang menuntunku ke mana ia pergi. Dari sekian perjalanan, aku mendapatkan wangsit dari angin yang seolah membisikku untuk pergi ke arah kantin fakultas bahasa, aku berani bersumpah pasti bertemu dengan beberapa temanku atau mahasiswi yang bisa kumanfaatkan untuk meneraktirku sepiring bakso dan juga es teh manis, yang tak lupa dengan sepuntung rokok.

              “Apa boleh buatlah, aku akan kesana,” lirihku yang menatap perutku yang terasa lapar.

***

Di luar dugaanku, setelah aku sampai di tempat kantin bahasa, aku bertemu dengan beberapa temanku berkumpul bersama dengan pak Djoko. Tak ada angin, tak ada hujan, aku dikejutkan dengan mereka yang mendadak berkumpul tanpa diriku yang terlihat mereka membuat forum tersendiri.

              Dari kejauhan, aku mendengar suara mereka, yang pastinya aku mendengar dari suara besar dari temanku, Irwan, yang terkenal dengan suara besarnya—karena ia terlahir dengan suara besar dan lingkungan nya yang memang dikenal dari suku Batak. Yah, itu penilaian dari styrotype-ku perihal suku batak.

              “Pesimisme? Memangnya ada, Pak?” tanya Irwan yang suaranya terdengar dari kejauhan, kulihat di sana ada Iwan, Djatmiko, Jasmoro, Tji Beng, Chitra dan juga Wiwik yang berdiskusi dengan Pak Djoko perihal pemahaman tentang pesimisme. Aku juga baru tahu tentang pemahaman itu, ah, apa boleh buat, aku ikut saja walau Pak Djoko akan memarahiku nanti.

              Kudekati langkahku dengan perlahan, dan aku berusaha duduk bersama mereka yang sedang asik mengkaji ilmu filsafat wakau di luar kelas. Namun sungguh apes diriku, aku ketahuan dengan suara Chitra yang sangat nyaring hingga mengagalkan fokus mereka.

              “Lho, Soerya? kemana aja kamu?! Kok baru datang?” tanya Chitra dengan suara memekik, aku yang sudah terciduk itu hanya bisa terbujur kaku, seolah aku tak bisa menggerakkan seluruh tubuhku karena ketahuan. Pak Djoko pun mematikan sigaret nya dan mengembuskan kepulan asap yang keluar dari mulutnya.

              “Soerya, Soerya. Kalau mau bolos, yang totalitas sedikit lah, jangan masuk ke kampus! Masuk saja ke daerah Pasar Baru lalu kau jual harga diri kau! Pasti laku!” sindir Pak Djoko yang memang tampak berbeda dengan sosoknya yang di kelas—terlihat berwibawa dan juga rapi, namun di luar kelas, dia sering bercanda dan menyempatkan waktu untuk berdialog bersama kami.

              Jemari Pak Djoko pun dengan lihai mematikan puntung rokok yang ia genggam di tangan kanannya, ia menatapku dan mempersilakanku untuk duduk bersama mereka. Aku hanya bisa terkekeh dan meringis akibat tingkah lakuku yang gagal memboloskan diri dengan sempurna. Yah, bila ingin menyalahkan siapa, aku ingin menyalahkan perutku.

              Dia lah yang membuat semua ini terjadi, dan terlebih lagi, aku juga kehabisan uang akibat kalah judi semalam—jadi aku tak bisa membeli makanan untuk malam ini. Payah sekali.

              “Sini Soerya, ada yang ingin saya bahas,” ungkap Pak Djoko dengan memberikan isyarat padaku untuk duduk bersama mereka. Aku pun duduk dan melihat beberapa temanku membuka catatan dan juga buku filsafat Nietszche dan juga mengkaji ulang bersama mereka. Aku bertanya kepada mereka yang masih asik membahas tentang mereka yang membuka dialong perbincangan.

              “Memang ada apa? Apa topik yang dibahas kalau boleh tahu?” tanyaku dengan berbisik kepada Wiwik. Dengan santai, Wiwik pun menjawab bisikanku dengan pelan.

              “Anu, Soerya, ada teman kita, yang menganut paham aneh, hingga dia ingin mengasingkan diri, menurutmu bagaimana?” tanya Wiwik yang melemparkan sebuah pertanyaan kepadaku. Aku pun mengerutkan dahi, dan aku menimpali pertanyaan kritis yang diungkap oleh Wiwik.

              “Begini, paham aneh seperti apa? Sekte sesat? Sekte satanis? Sekte indomie rebus ayam yang dijadikan goreng? Atau seperti apa, sih?” tanyaku dengan terheran-heran, Iwan pun hanya melirikku dan menambahkan pertanyaan asal yang kulontarkan.

              “Ya, sekte kuda ronggeng naik metro mini. Ya enggak lah, aduh!” Iwan yang mengusap kepalanya yang dijitak oleh Djatmiko sambil mengaduh kesakitan. Djatmiko yang masih fokus itu tampak kesal akibat distraksi yang ia terima dariku dan juga Iwan yang dari tadi melawak di hadapan kami.

              “Teman kita itu, si Laksmi, dia dengan gamblang mengaku bahwa ia menganut paham pesimisme! Bahkan kalian tahu? Dia sering enggak berkesempatan mengikuti acara kampus dan menghilang begitu saja. Sungguh aneh sekali bukan?” ungkap Djatmiko yang masih tampak kesal. Pak Djoko pun menutup kitab yang ia pegang dan bertanya kepada kami.

              “Sudah, jangan berasumsi yang belum tentu benar. Begini, saya ingin bertanya kepada kalian,” celetuk Pak Djoko dengan mengembalikan kitab yang ia pinjam dari Chitra. Seketika, kami kembali fokus ke hadapan beliau.

              “Apa definisi dari ada?” tanya Pak Djoko melirik ke arah Irwan yang tadi juga terdengar nyinyir tentang pesimisme. Dengan gugup, Irwan pun menjawab dengan gusar.

“Ada itu merujuk pada eksistialisme, yang merupakan paham yang menitik pusatkan dari segala relasi kemanusiaan,” ungkap Irwan.

“Halah, bahasa buku banget. Menurutmu apa yang kamu pahami?” dikte Pak Djoko, namun Soerya membantu Irwan untuk menjawab pertanyaan kritisnya.

“Ya menurut saya sih, segala paham itu manifestasi dari pemikiran manusia dari segala kesadarannya yang berasal dari alam semesta ini, ya saya pikir Laksmi menganggap Pesimisme itu ada karena dia yang menganggap dengan sadar bahwa pemikiran itu ada, yang sebenarnya itu adalah pemikiran yang kurang tepat bila diaplikasikan di kehidupannya. Yang setau saya, Pesimisme dari Arthur Schoenpenauer itu memang ada tapi untuk menghadapi realita pahit dan melakukan ketidak hendakan dalam kejadian peristiwa di dunia ini.” Penjabaran Soerya itu pun mampu membuat Pak Djoko tersenyum puas melihat Soerya yang menerangkan kajian dengan baik.

“Seperti biasa, Soerya memang mencuri panggung,” ungkap Chitra dengan terpana dengan pemaparan Soerya yang terlihat ia lebih tahu daripada mereka. Pak Djoko itu berdiri dan mengambil tasnya kembali.

“Soerya, saya titipkan Laksmi padamu, ya,” ungkapnya dengan beranjak dari kantin.

Seluruh mahasiswa yang tengah duduk itu pun hanya termangu melihat Pak Djoko menitipkan Laksmi, sosok perempuan aneh kepada pria yang nyeleneh seperti Soerya.

“Sepertinya ada yang menarik nih,” desis Tji Beng dengan pelan.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now