DUA BELAS

11 4 0
                                    

Dengan keberanianku, kuungkap kata-kata yang terlontar dari lisanku untuk mengajaknya berjalan bersama. Tentu, hanya aku dan Laksmi seorang diri. Aku tahu, kali ini sepertinya akan ditolak mentah-mentah, tapi setidaknya aku sudah berusaha untuk mengajaknya mengenaliku di dalam pikirannya.

"Enggak, maaf, aku ada pekerjaan—" tolaknya dengan terputus, aku pun menyela dan mencoba menghalangi jalannya.

"Pekerjaan? Kamu ada paruh waktu? Dimana? Mau aku antar?" sela ku, namun dia mencoba untuk tetap berjalan di sampingku. Tetapi langkahnya kian mencepat, dan aku sebisa mungkin menyamakan kecepatan langkah kakinya.

Dia berdiam, dan menarikan tali tas ke atas pundaknya. Tanpa berpanjang omong, dia terlihat tidak acuh dengan keberadaanku. Tetap saja dia mengabaikan apa yang aku lakukan saat ini. Selangkah dua langkah dia seperti cuek begitu saja, namun setelah beberapa langkah yang kami lalui, dia pun terlihat gerah, risih dan seperti tak tenang.

"Mau kamu apa, Soerya? Kenapa kamu mengikutiku?" Cibir Laksmi di hadapanku dengan berdecak pinggang, aku pun membalas dengan tersenyum. Yah, setidaknya dia bisa mengenaliku sedikit dan tak mengapa bila aku dicap orang yang menyebalkan sekali pun.

"Laksmi, kan tadi kamu sepakat dengan janji, kita akan menjadi teman baik, tapi kenapa kamu malah menjauhiku?" candaku yang tentu saja membuat mukanya memerah dan sebal kepadaku. Namun, itu lah yang kuinginkan.

"Lalu kamu mau aku berteman denganmu, padahal itu sebuah pemerasan dan pemaksaan kepadaku? Kau sakit jiwa, Soerya!" pekiknya dengan penuh kekesalan, aku terdiam beberapa saat, melihatnya baru pertama kali kesal, mengingatkanku dengan pertemuan kami. Lihat! Dia adalah orang yang sama bila dia terlihat kesal dan memarahiku!Aku terkekeh melihatnya.

"Jika kamu seorang pemahaman pesimisme, sepertinya bukan orang yang demikian, Laksmi." Ungkapanku seakan memberhentikan langkah kakinya, dia melihatku dan membalikkan badannya untuk melihatku yang berdiri tegak di tempat yang sama. Seisi pemikiranku terus berputar layaknya roda yang berjalan tanpa henti, mencari celah untukku agar kami bisa berdialog panjang tanpa membuatnya mengeluarkan amarah seperti barusan.

Kupejam mataku beberapa detik, dan ku kumpulkan napas agar bisa memberi jeda atas semua reaksiku, untuk membalas apa yang akan terjadi kepadaku setelah Laksmi memberikan argumen—yang bisa saja mematahkan semua yang terucap pada lisanku.

Seorang yang tahu betul pesimisme, bukan berarti dia harus menghilang.

Bukan berarti, dia melarikan diri dari realita yang penuh prahara dan kekejaman di dalamnya.

Seorang yang tahu paham pesimisme, bukan berarti tak ada harap dalam hidupnya,

Tetapi, hanya ...

Membatasi diri dari perandaian atau keinginan lebih—ekspektasi dari masa depan yang digantungkan.

Kubuka pelupuk mataku, bersamaan dengan hembusan napas yang keluar dari rongga mulutku. Dengan berusaha tenang, aku mencoba agar terlihat percaya diri dengan seluruh argumen yang kuucapkan.

"Soerya, kamu tahu apa tentang pesimisme? Bukankah itu sebuah pemahaman hidup ini derita? Ya sudah, kita tidak usah berbuat apa-apa, toh yang bisa aku bahagia hanya melepaskan semua kehendakku," sesumbar Laksmi dengan nada merendahkanku. Kulihat maniknya yang tampak getir dan takut melihat tatapan dariku. Aku tersenyum karena seperti dugaanku, bahwa dia sepertinya sudah lama tidak memahami betul makna dari sebuah "pesimisme" yang benar seperti yang dikemukakan oleh Filsuf pencetusnya, seperti Arthur Schopenhauer.

"Laksmi, kau tahu? Hakikat pesimisme itu adalah paham yang tidak menaruh tinggi sebuah ekspektasi di masa depan, karena hidupmu bakal menderita jika realita tidak sesuai dengan harapanmu." Aku melihatnya yang kini memucat, tangannya yang bergetar hebat, hingga dia terlihat gugup di depanku.

"Terus apa? Kenapa filsuf itu bilang kalau hidup itu menderita?" ucapnya dengan berintonasi cepat seperti takut melihat aku yang serupa seperti setan di depan nya. Aku memanjangkan sabar dan tersenyum tipis, memang benar Laksmi salah seorang dari ribuan orang yang terkena stigma yang terjadi ketika mendengar filsafat—yah, bisa di katakan, "Belajar Filsafat itu bisa gila". "Pesimisme itu seperti tidak ada harapan". Atau yang lebih gilanya lagi, "Jangan berdebat dengan orang filsafat, yang ada kamu jadi stress". Padahal, kami manusia biasa, kami manusia yang ingin mencari tahu hakikat sebenarnya dalam tatanan semesta di hidup ini.

"Hidup itu menderita, bila kita terlalu berharap tinggi, Laksmi. Tetapi, enggak apa kok berharap tapi kalau tau batasmu." Aku menyengir melihat Laksmi yang tak bisa berkata-kata setelah mendengarkan argumenku dengan singkat, padat, dan jelas.

"Tapi—tapi ...," putus Laksmi dengan terbata-bata, aku pun mengusap kepala Laksmi dengan tersenyum, aku melihatnya dengan senyuman hangat.

"Laksmi, aku tak tahu apa yang terjadi padamu, sebelum kamu memutuskan untuk salah memaknai pesimisme itu sendiri, tapi jika ada suatu kejadian di masa lalumu, aku siap sedia mendengarkanmu, kok." Uh, tapi entah mengapa aku sangat bertolak belakang dengan perasaanku.

Malu tapi sudah telanjur terucap. Bodoh sekali kau, Soerya.

Tetapi, raut wajah ketakutan Laksmi berubah secara perlahan seperti membaik, dan badannya sudah jauh relaks dari yang biasanya—yah, seperti ketakutan dan tegang ketika dia melihatku kali pertama.

"Ya ampun, ada apa sih aku, maaf ucapanku kacau." Tangan kananku menepuk jidatku dengan kencang, akibat ucapanku yang sangat tidak jelas di depan lawan bicaraku. Aku tidak menduga, justru reaksi Laksmi terkekeh dan tertawa melihatku yang mungkin saja aku konyol di hadapannya saat ini.

"Hahahaha aku kira kamu sesempurna apa yang diucap oleh banyak orang, Soerya," ungkap Laksmi dengan tertawa lepas. Entah kenapa, wajah kegembiraan yang terpancar dari wajah Laksmi membuatku ikut tersenyum, seperti tertular kepadaku.

Di saat yang bersamaan, aku merasa menang atas dirinya saat ini, karena kuanggap aku bisa membawa seseorang yang tadinya tak ingin berdialog lebih menjadi seseorang yang tertawa bersamaku tanpa ada unsur paksaan sedikit pun.

Dia mengusapkan air mata yang sedikit keluar dari pelupuknya. Tawanya pun sudah mereda, Laksmi tersenyum padaku dengan ramah. Wah, perubahan sifatnya cepat sekali seperti air soda yang hilang akan gelembungnya. Namun seketika, ekspresinya berubah, dan dia membuang muka.

"Lupakan saja tadi. Itu tawa yang enggak berarti, permisi, aku mau pulang," tegasnya dengan membalikkan badan ke arah selatan. Aku tidak bisa memungkiri, bahwa wajahnya yang tertawa itu terlihat sangat bahagia dan menawan bila dilihat dengan langsung di hadapan Laksmi.

Aku tidak bisa berkutik, wajahku seketika memanas, melihatnya berekspresi demikian. Seperti bukan Laksmi yang dikatakan orang—yang pemurung, misterius dan dingin. Tidak, tidak, aku tak ingin hidupku seperti novel picisan yang kutemui di toko buku loak daerah Matraman.

Langkah Laksmi semakin menjauh dariku, hingga sosoknya sudah menjauh dan menghilang dari pandanganku. Aku termenung dan berpikir, jika dia bisa tersenyum, mungkin saja dia bisa mendapatkan teman lebih banyak atau bisa jadi primadona di fakultas ini. Tapi mengapa dia memilih dan menempuh hidup untuk tidak ingin didekati orang? Apa dia punya masa lalu yang berat seperti adikku? Ah, biarkan lah ini menjadi konspirasi antara diriku dan alam yang memiliki banyak sisi misterius di dunia ini.

Bila dia sama seperti adikku, semoga saja waktu bisa mengungkapkan semua yang terjadi pada masa lalunya, semoga karma baik bisa menuntunnya ke arah yang jauh lebih baik. Tunggu, mengapa aku harus peduli dengan dia?

Mengapa seluruh ruang pikiranku terngiang-ngiang dengan tawanya yang menawan? Tidak, aku sudah terlalu bawa perasaan. Sialan. 

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Donde viven las historias. Descúbrelo ahora