EPILOG

35 2 0
                                    

Jakarta, Bulan Februari tahun 1995. Aku mendapatkan sepucuk surat undangan reuni dari kampusku, sekilas, aku tertanya-tanya mengenai kabar dari mereka, Yudhi, Chitra, Wiwik, Tji Beng, Jasmoro, Iwan, Djatmiko, dan terutama—Soerya.

Meski aku juga telah lulus dan menjadi seorang penulis dan menerbitkan beberapa buku fiksi dan puisi, dan aku bersyukur, banyak sastrawan menghubungiku untuk bertemu mereka dan berdiskusi mengenai industri buku dan dunia kepenulisan.

Ah, tetapi setiap kali aku melihat sajak, aku teringat dengan Yudhi dan Tji Beng yang cemerlang menulis puisi. Setiap kutatap toko pakaian di Cikini, aku teringat Chitra dan Wiwik yang selalu bergaya, mendengar tawa canda penyiar melalui radio? Hah, aku terbayang guyonan Iwan, Irwan, Jasmoro, Djatmiko yang bercandanya pun seperti Srimulat. Terutama, aku tidak bisa lepas dari rindu kepada Soerya. apa kabarnya ya? Aku terakhir mendengar kabarnya, aku ingat bahwa ketika kelulusan kami, dia memohon kepadaku untuk menjaga hatiku beberapa tahun hingga reuni kampus itu tiba kepada kami. Di mana Soerya? Ah, aku saja tidak tahu kabar terakhirnya. Kami tidak berkabar, namun janji itu yang menjaga hatiku untuk tetap terjaga kepada Soerya.

Omong-omong janji itu, aku teringat dengan perkataan manis saat pasar malam itu, "kelak, akan ada sesuatu yang melingkar di sini." Ungkapan itu masih kupegang hingga saat ini, aku berharap dia memenuhi janji itu. Tiba-tiba suara Dimas itu memecahkan lamunanku, dan kini, dia di hadapanku membahas revisi naskah yang akan kubuat untuk diterbitkan.

"Laksmi, kamu dari tadi melamun, kamu kepikiran apa?" tanya Dimas—yaitu editor dari penerbit yang kebetulan bertamu di rumahku saat ini.

"Oh, maaf, Dim. Enggak kok, ekhm, aku harus memeriksa di bagian mana?" Balasku untuk terlihat profesional. Dimas tersenyum padaku dan melihat sepucuk surat yang ada di tangan kananku.

"Sepertinya Mbak Laksmi mau reuni kampus, ya? Aku senang mendengarnya," ungkap Dimas yang merapikan beberapa berkasnya. Aku tertawa pelan dan memberikan surat reuni kepada Dimas, dengan santai aku meminum secangkir teh hangat.

"Iya, sepertinya pekan depan aku ikut reuni kampus, aku teringat masa kuliahku dulu," balasku dengan menaruhkan gelas kosong di meja.

"Memangnya apa yang membuat Mbak Laksmi teringat dengan masa lalu?" tanya Dimas sambil melihat seisi surat yang berwarna putih kekuningan.

"Persahabatan yang tidak bisa dibeli dengan uang, aku memaknainya karena aku mencintai mereka," ungkapku dengan tersenyum. Dimas yang mendengarku seketika membuka pembicaraan tentang masa kuliah dulu, memang penuh kegembiraan, riang gempita, dan juga kesuka citaan yang menggelora. 

Mungkin, Chrisye mengatakan masa SMA adalah masa paling indah. Namun bagiku, masa kuliah lah yang jauh lebih menyenangkan. Atau... memang kebahagiaan itu relatif? Entahlah, aku tidak ingin mengeluarkan teori lebih kepada orang ini.

"Ya, Mbak. Mungkin aku ingin menyarankan kepada Mbak Laksmi, kalau di reuni biasanya akan terjadi perubahan besar. mungkin, dari gaya berpakaian, posisi jabatan, dan hal keduniawian lainnya, tetapi nikmati saja waktunya," tutur Dimas yang tampak santai memakan camilan yang ada di depan meja kami.

"Tentu saja," ungkapku dengan tenang menikmati pembahasan kami yang menghabiskan berjam-jam.

***

Satu pekan berlalu, aku memasuki ruang besar di dalam kampus, suasana kampus kami sudah banyak perubahan yang cukup besar. baik perbaikan gedung, banyak forum mahasiswa berkumpul, bahkan banyak bangunan bagus sudah terbangun.

Pakaianku juga cukup formal, kukenakan gaun yang berbahan batik yang kujahit beberapa waktu lalu khusus untuk mendatangi reuni. Aku menandatangani buku kehadiran, dan aku berjalan ke dalam gedung. Kulihat Tji Beng dan Wiwik yang datang mengenakan sarimbit* (read: Batik Sarimbit adalah jenis batik yang dijual berpasangan untuk dipakai berpasangan). Ah memang dari dulu mereka sudah mesra, sejujurnya aku iri saat ini.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Donde viven las historias. Descúbrelo ahora