LIMA BELAS

15 3 0
                                    


"Jangan ingatkan aku tentang Adjie." Kuungkap nama yang kubenci dari lisanku, kutatap mereka satu-persatu dengan tatapan sinis. Mungkin kalian tidak tahu menahu mengapa aku sangat membenci nama keparat bajingan itu, yah, meski dia adalah kakak senior kami, aku memiliki kenangan buruk tentang dirinya.

Kuteringat raut wajah Adjie yang saat itu ingin sekali kuludahi dengan air liur anjing—yah, keberadaan dia kuanggap sebagai manusia ternajis dan bajingan sepanjang masa. Mengapa tidak? Kuingat dia menjelek-jelekkan ibuku.

"Soerya, sudahlah, kami kan sedang bercanda," ungkap Adjie yang tengah menertawakan foto ibuku yang kusimpan dalam dompetku. Karena aku sangat menyayangi ibuku bahkan ketika aku melihat foto ibuku di dalam dompetku. Aku tersadar dan melihat kelakar Adjie yang mulai mengolok-ngolok rupa ibuku yang memang sudah menua. Semua tertawa melihat guyonan jahanam yang tidak bermoral sekali pun.

"Lihat, ibumu ada tompelnya! Besar sekali! Hahaha!" tawa Adjie yang disertai dengan gelak tawa lainnya. Langkahku kini kian mendekat ke Adjie dan mencoba merebut kembali dompet yang dirampas secara paksa karena dia berdalih ingin dijajankan dengan paksa kepadaku.

"Guyonanmu enggak lucu, Djie," cecarku dengan mengambil paksa dompetku. Namun tangannya kini mempertahankan dompetku yang dia rampas, dan menatapku dengan tatapan hina.

"Aku justru menertawakan tanda lahir—" kuhantam dia dengan tangan kosong, semua orang melihatku memukul tepat pada hidung mancungnya. Aku kehilangan kesabaranku, kupukul wajahnya sekali, dua kali, bahkan beberapa kali pukulan keras yang menghantam wajah dan juga badannya. Sebelum kusadari, banyak temanku yang berdatangan dan berlerai kepada kami. Adjie yang tampak babak belur melihatku dengan tertawa mengejek. Untung saja badanku sudah ditahan oleh Tji Beng dan juga Djatmiko yang gegas meleraikan pertengkaran yang terjadi pada kami.

"Begitu saja kau bawa perasaan, kau payah!" hina Adjie yang terus menerus meneriaki ku.

"Jangan kau hina ibuku! Apa kau lupa siapa yang mengandungmu sembilan bulan, hah! Kau anak durhaka, Adjie!" aku mencoba untuk membela diriku sekali lagi, tetapi semua pertahananku dicegat oleh beberapa temanku untuk tidak menghajarnya lagi. Seketika aku memikirkannya, aku mengkhawatirkan suatu saat nanti salah satu dari temanku diperbuat oleh Adjie yang datang. Mungkin saja setelah masa skorsing kampus ini telah usai.

"Omong-omong, Soerya," ungkap Wiwik meleburkan ketegangan yang kami rasakan di ruang tengah keluargaku, kutoleh wajahku ke arah Wiwik yang duduk di dekat pintu rumahku.

"Kenapa, Wik?" tanyaku untuk melanjutkan dialog kami yang terlalu kaku untuk siang yang penuh ceria seperti sekatang ini, Wiwik dengan penuh semangat membuka diskusi lain di antara kami.

"Anu, daripada kita merasa bersalah melulu, ayo kita sesekali ajak Laksmi buat bermain-main dengan kita, yuk!" balas Wiwik dengan semangat, namun Tji Beng hanya melirik Wiwik dengan menepuk jidat Wiwik dengan lembut.

"Dik, kan kamu tahu, Laksmi itu susah diajak bekerja sama. Kita bisa ngobrol kemarin saja sudah syukur," lirih Tji Beng melirik Chitra dengan nada menekan, tatapan Tji Beng pun sinis melihat perempuan yang berambut pendek—tepat posisi duduknya di sebelah kananku.

"Sudahlah, aku tahu aku ini salah," ungkap Chitra dengan membuang muka ke arah belakang.

"Oke, besok kau harus meminta maaf dan mengajak Laksmi kepada kami," tekanku dengan santai. Jasmoro pun menimpali dengan tegas.

"Jangan saling menyalahkan," tegas Iwan dengan suara lantang. 

"Ini bukan perkara Chitra, tapi kita yang berbuat salah kepada Laksmi." Jasmoro pun tersenyum lebar. Jarang sekali kami melihat Jasmoro tersenyum sumringah di hadapan kami, yah, Jasmoro memang terkenal dengan pria yang cuek dan jarang tersenyum, namun ketika dia tersenyum kurasa ada janggal. Entah ada sesuatu yang tidak ... ah tidak, aneh?

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang