ENAM BELAS

11 2 0
                                    

Hari-hari cepat berlalu, kini aku berjalan menuju tempat yang kurasa seperti neraka bagiku—kampus yang dipenuhi orang yang beberapa waktu lalu menghinaku secara tidak langsung. Hah, menyebalkan begitu juga menyedihkan.

Tentu, manusia memang tidak pernah lepas dari penderitaan dan masalah setiap harinya. Tetapi entah mengapa setiap hari, aku merasa semakin berat beban setiap hari yang kupikul. Bahkan, seperti sekarang ini. Aku mendadak dipanggil oleh beberapa teman sekelasku yang membuatku termangu hingga tidak bisa berkata-kata, seperti membeku seperti sekarang ini.

"Laksmi." Iwan mendekatiku dan memanggilku dengan suara yang beratnya.

"Iya, kenapa?" tanyaku kepada Iwan yang sudah berdiri di hadapanku. Iwan menggarukkan kepala, seperti sedang merasa resah yang terlihat jelas pada wajahnya. Kakinya pun mengetuk-ngetuk lantai yang dingin, seperti ada sesuatu mengganjal pada pikirannya. Sudah dipastikan, ini terkait dengan aku dan dia yang sedang resah padanya.

"Nanti, setelah kelas, apa kamu punya waktu?" tanya Iwan yang membenarkan tas ranselnya. Namun, sejak aku melarikan diri dari mereka, aku terlintas juga berpikiran bahwa aku harus bertanya lebih dalam perihal kemarin—meski aku tak mengerti dan sedikit takut apa yang terjadi kepadanya.

"Memangnya ada apa?" balasku walau dengan sedikit rasa khawatir. Sungguh, aku tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi kepadaku perihal Iwan yang kulihat dia—seorang yang beruntung, memiliki banyak teman untuk bertukar cerita dan berekspresi.

"Aku dan kawan-kawanku ingin berbincang denganmu, Mi," ungkapnya. Hah, sial, bulu kuduk terasa berdiri dan menggigil mendengar pernyataan yang terlontar dari Iwan. Seketika seisi kepalaku mencuat, telingaku berdenging kian mengeras. Suara-suara itu seakan begitu nyaring dalam pikiranku.

Kami ingin berbincang sebentar saja, Laksmi.

Apa kamu melakukan ini kepada Yayuk?

Kamu melakukannya?

Kami tidak menyukaimu!

Enyahlah!

Kutahan semua percakapan-percakapan yang membuka lamaku kembali melebar, sebisa mungkin aku hanya bisa tersenyum kepada Iwan sekadarnya. Meski ku tahu, telapak tangan dan dahiku mengeluarkan sejumlah keringat yang tak kuundang—akibat rasa gugup dan pikiran masa laluku muncul kembali di saat yang bersamaan.

Bisa, pasti kau bisa, Laksmi. Ini bukan mereka yang merundungimu. Tenanglah sedikit. Batinku yang terus tergoyah dan mati-matian aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja.

Sayangnya, Iwan mengetahuiku setelah melihat gelagat yang mungkin aneh di matanya, "kau tidak apa-apa, Laksmi? Kau sakit?" tanyanya. Aku menggelengkan kepala dan mundur beberapa langkah.

"Uh, tenang, aku baik-baik saja, kok," ungkapku dengan tersenyum.

"Oh baiklah, nanti akan kutunggu, Mi," ungkapnya serta membalaskan senyumanku. Dia pun melambai dan segera masuk ke dalam kelas, meski kelas kami sama, kulihat dari jendela banyak mahasiswa yang tertawa dan riang gembira walaupun kulihat dari jendela.

Ketika aku memasuki kelas, semua melirikku. Aku terasa janggal, serta takut dengan tatapan-tatapan mereka yang kurang menyenangkan.

Aku sebisa mungkin duduk di bangku yang tidak berpenghuni kan orang, seperti di bangku dekat meja dosen. Tetapi, bangku itu terisi oleh mahasiswa yang tidak kukenali. Hatiku terasa kian gelisah, dan kucari bangku kosong agar aku bisa duduk di kelas dengan nyaman.

Mimpi burukku terasa dimulai dari sini, tepat di barisan tengah, aku duduk dengan komplotan Chitra dan tepat di sebelah Soerya, bangku kosong itu ada. Sial bukan kepalang. Takdir seakan mempermainkanku saat ini, mau tak mau, aku harus duduk di samping Soerya lagi. Rasanya aku ingin kabur dari sini, dan membolos kelas untuk seharian. Tetapi suara itu memanggilku dengan kencang hingga beberapa teman melirikku.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang