ENAM

34 13 72
                                    

EDAN!

Seketika aku menyesali perbuatanku, kenapa aku menjadi sok heroik membantu dengan bergaya seperti ini? Pahlawan saja bukan, mengapa aku harus membantu pria itu—yang kini menyahut-nyahutkanku. Menyebalkan lagi, saat ini aku dikejar dengan dia yang mengulang-ulang kata, "Terima kasih". Yang kuduga, dia akan mengulang-ulang sebelum aku menjawab, "Sama-sama".

Tak aku habis pikir, mengapa dia sangat kurang kerjaan hingga ia mengikuti langkahku seperti anjing kecil mencari induknya? Ditambah lagi dia mengapa harus mengulang-ulang bagai kaset yang berpita rusak? Hah, dia sudah gila—aku juga demikian sih, mengapa aku terlalu sibuk mengusik pikiran tentang dirinya? dan apa aku harus berpura-pura tuli agar tak merasa terusik! Oh! Aku sudah hilang akal, dan aku ingin pergi dari sini. Jika kalian bertanya padaku, mengapa aku tidak menjawabnya, tentu aku bukannya malas, tapi aku memang tak ingin diingat orang! Sungguh!

"Terima kasih," ulangnya lagi dengan mendekatiku, aku yang merasa kesal, kubalikkan badanku dan berdiri di depannya. Hatiku merasa risih, dia sudah membuatku kesal dan

"Sama-sama dan jangan ikuti aku! Aku risih!" kesalku dengan mengepalkan tangan menahan amarahku. Lelaki itu menyengir dan berkata padaku, dengan gaya yang penuh membuatku kesal dan jengkel—karena tampangnya yang memang membuatku sebal bertubi-tubi.

"Nah gitu dong, Mbak. Kalau digubris kan, enak. Enggak merasa dicuekin gitu loh," katanya yang sangat santai di depanku.

"Terserah, aku ingin pergi, permisi." Aku melangkah pergi dengan langkah kasar, tentu saja aku berusaha menahan emosiku karena aku tak ingin dianggap gila—seperti dirinya. Lantas buat apa aku emosi dengan seseorang yang tak kukenal? Setidaknya aku bisa keluar dari masalah ini dan tentu saja dia takkan mengenaliku suatu saat.

Sialnya, dia tak sesuai dugaanku, justru ia masih memanggilku dan tak henti-hentinya dengan panggilan "Mbak". Hah, sungguh menyebalkan. Mengapa pria aneh yang satu ini memilihku untuk tidak beranjak pergi dariku.

Ia pun berjalan di belakangku dan menahan lenganku dari berdiri.

"Tunggu!" sergahnya. Aku seketika menghentikan langkahku, dan melihat ke arahnya, dengan malas aku melihat ke arah belakang, tentu saja harus bertatap orang yang membuatku malas—lebih tepatnya, dia adalah seorang pengganggu yang tak ada bedanya dengan kecoak yang bertebangan dan mengganggu ketenanganku beberapa waktu lalu.

"Apa lagi?" tanyaku malas.

"Siapa namamu? Agar aku bisa mengingat kebaikanmu dengan tuntas," ungkapnya dengan tatapan melas dan memohon agar aku memberitahu namaku kepadanya.

Tuhan, aku enggak nyaman. Siapa pun tolong keluarkan aku dari situasi ini! Do'aku dalam hati, tapi apalah daya. Secara terpaksa aku mengucapkan namaku yang secara tak ingin kusebut.

"Nama saya Laksmi, dan tolong jangan ikuti aku lagi, aku ingin privasi," ungkapku dengan berintonasi rendah dan menampakkan secara jelas bahwa aku tak ingin diuntit lagi. Tetapi kali ini pria itu hanya tersenyum kepadaku dan menyerah begitu saja.

"Ya sudah jika itu maumu, terima kasih Laksmi atas kebaikanmu, semoga Tuhan mempertemukan kita kembali," lirihnya dengan tersenyum tipis. Memang kuakui dia adalah sosok pria tampan, tapi sifatnya yang mengganggu membuatku jadi mengurangi rasa hormatku padanya.

"Terus apa lagi? Sudah begitu saja? Aku ingin pergi," tegasku dengan berdecak pinggang, dia tersenyum padaku dan gerak-geriknya seakan ia ingin pergi dariku.

"Yah, setidaknya aku bisa mengetahui nama orang yang berbaik hati melunaskan hutangku," ucapnya dengan perpisahan di antara kami, yang didukung oleh semilir angin menerpa kehadiran kita berdua.

Aku tak bisa berkata apa-apa, selain dengan mengingat perpisahan yang membekaskan segala do'a baik kepadaku. Entah pertemuan apa yang akan terjadi padaku, aku hanya ingin sendiri menikmati segala kesunyianku. Antara aku, angin, dan juga beberapa pikiranku yang lihai menghiasi pikiranku saat ini.

***

Masalah satu telah usai, aku berjalan menuju keluar dari kampus, lalu sesegera mungkin aku ingin lari dan melupakan segala apa yang ingin aku alami hari ini. Tidak, aku ingin semua orang tidak tahu tentang keberadaanku.

Aku berlari menuju halte bus terdekat, dengan harap-harap cemas aku berdo'a bus yang kutumpangi saat ini sepi. Sungguh, aku malu jika aku bertemu dengan teman-teman sekelasku yang pasti bakal menjadi perbincangan hangat hari ini bahwa, "Laksmi-seorang-penganut-paham-aneh". Hingga membuat kupingku terasa panas dan tersiksa akibat obrolan mereka yang agak kejam, apa lagi dibumbui dengan asumsi-asumsi mereka yang super aneh perihal diriku.

Kulihat bus kuning mendatangi halte bus yang aku singgahi, dengan segala do'a yang kurapal, aku memasuki bus tersebut agar sesuai dengan harapanku, sepi dan kalau bisa, aku tak bertemu dengan mereka lagi.

Langkahku semakin mendekat dengan pintu masuk bus kuning, ketika aku hendak memasuki bus tersebut, dewi fortuna seakan berbelas kasih kepadaku karena bus ini kebetulan sepi. Hingga aku bisa benapas lega dari sesak orang yang bercuap-cuap dan berisiknya suara mereka yang tak membuatku nyaman.

Melihat bangku bus banyak kosong dan sepi, aku memilih bangku pertengahan dekat jendela agar aku bisa menikmati waktu untuk merenungkan yang terjadi padaku. Apa salahnya bila aku memilih untuk memberikan sebuah waktu jeda dalam diri untuk melihat hikmah di balik kejadian ini.

Yah, tentang hari ini yang sangat menyebalkan dengan segala hal menjengkelkan lainnya. Dari beberapa waktu berlalu, aku mendengar semilir angin kencang menerpa dari celah-celah jendela bus yang ditumpangi. Meski ribut, aku menikmatinya. Aku merasa lebih hidup dikala sunyi dan terdiam di dalam keheningan.

Kubuka tas dan ingin mengambil buku catatan kecilku, kulihat celah-celah tas dan aku merasa sedikit janggal. Hey, dimana buku ku?! Jangan bilang aku membuangnya atau aku menaruhnya di sembarang tempat. Tidak, itu sudah terlampau gila. 

Kuraba lagi beberapa buku dengan penuh kepanikan. TIdak-tidak, dimana buku catatan kecilku? Itu sangat penting! Dimana dia?! Sebujur tubuhku hingga bulu kudukku menegang, tak tahu dimana aku menaruhnya, dan itu berisi dengan beberapa catatanku dan juga diary ku di dalamnya! Ya Tuhan, aku lupa menaruhnya. Sungguh, aku tak mengerti, aku lupa menaruh catatan kecil milikku.

Terbesit aku mengingat kembali dimana momentum aku mengeluarkan seisi tasku—ah tepat, aku bertukar tugas dengan Chitra sebelum kelas Pak Djoko tadi pagi.

Tunggu, aku mengingat mengeluarkan catatan itu di dalam tasku, dan bersama... Chitra. Hingga tak terasa aku menghabiskan beberapa menit hingga perjalanan terakhirku, yaitu perjalan menuju gerbang kampus.

Dengan aku melangkah cepat berselimut dengan perasaan gamang, aku hanya berharap besar agar rahasia-rahasia yang terjadi padaku di dalam catatan itu tidak baca oleh Chitra yang sosok teman pertamaku, namun aku tidak bisa berharap lebih untuk dijaga rahasia oleh dia.

Hah, semoga saja rahasiaku bisa disimpan dengan baik, dan tidak disebar oleh dia—karena ketakutanku muncul bila kejadian itu muncul padaku dan terulang.

Tentu saja kejadian masa lalu yang aku tak ingin kukenang lagi. 

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now