TIGA

69 21 150
                                    


Aku menangis tersedu-sedu, sebagaimana tangisan itu seperti menanda bahwa luka itu seperti sengaja diberi garam oleh seseorang yang kausayangi dengan sengaja. Isak tangis menuntunku untuk melampiaskan sebuah amarah yang terguncang dalam diri.

Mungkin kalian tak tahu, seberapa banyak usaha aku menguburkan kejadian yang kualami di Jogja. Seberapa lama aku berusaha untuk melupakan semua kejadian tragis bagi seorang perempuan sepertiku.

Bahkan, aku tak ingin mengingat pertemananku dan terlebih khusus dengan Arya Wibisono—seorang lelaki yang brengsek, bahkan aku berharap dia telah tiada dari duniaku. Toh, seperti apa kata filsuf stoik yang selalu mengingatkanku bahwa masa lalu ada mati, tak ada nilai jika diungkit kembali. Alih-alih kata orang masa lalu sebuah pembelajaran yang berharga, kenangan itu tidak bernilai sama sekali. Kendatipun diingat, lebih baik diabaikan, bukan?

Ah tidak, aku mengingatnya lagi, sialan.

Terlepas dengan keluhku, air mata masih deras, kudengar suara ibu yang lembut seraya mengetukkan pintu kamarku yang berbahan kayu, sudah dipastikan ibu mencemaskan aku yang tengah dirundung pilu. Aku tak ingin membuatnya khawatir lebih lama, aku memilih untuk memendam luka lantaran sakit hati yang kurasa di masa lalu.

"Nak, kamu enggak apa? Ibu boleh masuk?" tanya ibu dan mengetukkan pintu kamarku. Aku mengusap air mataku, aku berdehem untuk memalsukan apa yang kurasakan sekarang, aku pun berkata kepada ibu dari dalam kamar.

"Aku baik-baik saja kok, Bu, tidak usah khawatir," ungkapku yang berusaha untuk terlihat baik-baik saja, namun ibu tetaplah ibu, ibu masih mencoba masuk ke dalam kamarku dengan memberikan pernyataan sangkalan yang sama seperti orang resek pada umumnya yang berusaha mencampuri urusanku.

"Nak, tapi ibu mau masuk, mau bicara sama kamu," jelas ibu dengan tegas dan intonasinya pun mendingin seperti ada yang harus dibicarakan dengannya, aku hapal sekali dengan sikap ibu yang seolah tak bisa dibohongi sedikit pun, baik aku ataupun bapak.

Aku berjalan ke arah pintu kamar dan membuka pintu kamarku sedikit agar aku bisa melihat ibu dari celah pintu yang kubuka, terlihat jelas raut wajah ibu yang terlihat iba kepadaku, dengan lirih ibu berkata di depan pintu.

"Nak, apa boleh ibu ngobrol sama kamu?" tanya ibu yang masih menanyakan perihal perasaanku, aku yang membuka pintu sedikit lebar untuk mempersilakan ibu masih ke dalam kamar tidur yang kutempati. Aku pun tersenyum palsu dan berusaha terkekeh agar kebohonganku dapat dipercaya oleh ibu.

"Oh! boleh banget kok, aku sudah baik-baik saja! Hehe," bohongku dengan sangat terlihat meyakinkan dan bisa menipu ibu lalu bisa pergi lebih cepat dari kamarku. Ibu yang masih skeptis denganku, melihatku berkali-kali hingga aku merasa kurang nyaman.

"Ibu mau ngomong apa? Aku setelah ini mau kerjain tugas untuk makalah besok, Bu," ungkapku yang mengusir ibu dari kamarku dengan halus, namun ibu masih bersikeras ingin menelisik tentang kondisiku.

"Yakin? Kok Ibu tidak merasakan demikian? Ada apa? Sini, cerita sama Ibu," ungkap Ibu yang duduk di atas kasurku.

"Bu, sudah, Aku baik-baik saja di sini, kalau begitu aku mau mengerjakan tugasku," ketusku, ibu pun dengan langsung membuka dialog yang sebenarnya aku tak ingin membahasnya lagi.

"Kamu pasti terusik dengan omongan Bapak ya?" tanya ibu yang membuatku diam tak terkutik, aku akui ucapan bapak terkait membawa nama lelaki brengsek itu membuatku murka dalam jiwaku. Aku yang berusaha untuk terlihat baik itu pun tak bisa memungkiri bahwa ucapan itu membuatku mengingat-ingat masa laluku yang penuh dengan kegelapan.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now