DUA PULUH DUA

10 3 0
                                    


"Kau tahu yang menjadi titik ironi menjadi manusia?"

"Apa itu, kawan?"

"Manusia itu seperti koin yang memiliki dua sisi, sisi malaikat ...."

"Lalu?"

"Sisi bajingan yang selalu mereka sembunyikan."

***

Beberapa hari berlalu, sejak itu aku teringat bahkan hingga sekarang, seorang Soerya yang periang memiliki sisinya yang berbeda. Tidak selamanya dia menjadi periang, dan memang kuakui, dia sangat piawai dalam menyembunyikan luka lamanya. Setidaknya aku mengerti, bahwa dia sangat wajar untuk marah, kecewa dan terasa terkhianati oleh seseorang yang sudah dianggap sahabat.

Aku seketika jadi teringat dengan pepatah lama, memang manusia seperti dua sisi koin yang berbeda, ada sisi bahagia, ceria, menyenangkan dan juga sisi di mana dia menampakkan kesedihan, amarah, dan juga sisi negatif yang kita tidak jumpai. Kupikir, itu hanya omongan dan bualan belaka, tetapi aku baru menyadari hal tersebut.

Seperti Soerya, Yudhi dan juga diriku—walau aku sudah lama tidak merasakan keceriaan itu, semenjak hal itu direnggut oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Seperti contohnya, Yayuk dan Arya yang berengsek. Kau tahu? Memang semua itu sudah berlalu, namun aku belum bisa mengikhlaskannya. Masih banyak sisa luka yang tergores dalam diriku, memang amarah tidak bisa terbendung, namun entah perasaan itu masih menghantuiku hingga seperti kehidupan layak ku dirampas oleh mereka.

Kugelenggengkan kepala untuk mengembalikan kesadaran—tentu, aku sedang duduk bersama teman-temanku, jika kalian tanya apakah mereka tahu perbincangan terselubung antara aku dan Soerya, tentu tidak. Aku berani bertaruh untuk itu.

Seluruh gemuruh dan keramaian sudah menemaniku beberapa menit lalu. Kulihat Soerya, Tji Beng, dan Iwan telah maju di panggung dan menyiapkan materi debat dengan topik, 'Apakah manusia bisa berkehendak dengan bebas?' untuk memperingati ulang tahun kampus kami. Tak hanya itu, aku juga melihat banyak kampus yang menjadi tamu luar dari berbagai daerah. Kulihat ada yang dari Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan berbagai kampus mewarnai ruang auditorium saat ini.

Kulihat pula Yudhi dan berbagai teman Hima fakultas sedang sibuk mempersiapkan agar acara berjalan lancar, yah, kuharap yang seperti diceritakan oleh Soerya tidak berulang kembali. Walau kulihat Yudhi terlihat sangat berbeda—resik, dan terlihat berwibawa, berbeda dengan kesehariannya yang sangat berantakan, bagai pria berumur 20-an yang tidak terurus dengan baik.

Kulihat Soerya yang juga memandangku dan tersenyum—ah tidak, aku mungkin terlalu percaya diri. Mungkin aku terlalu terbawa akibat beberapa hari belakangan hubunganku dengan Soerya makin dekat.

Tidak, Laksmi. Kamu ke-geeran. Aku tahu, kamu sudah terlalu nyaman dengan Soerya. Tapi kumohon kamu menjaga citra dirimu dan hatimu, sialan. Sumpah serapahku dalam hati, dan hingga tidak sadar aku bahwa telah dicolek oleh Wiwik yang di sebelahku, untuk melihat rombongan universitas dari Yogyakarta yang ramai mendatangi ruangan auditorium.

Aku melihat beberapa mahasiswa yang berbaris untuk mencari duduk—dan kulihat beberapa wajah, untung saja aku tidak mengenali mereka. Wiwik dengan cepat membisik ke dekat telingaku dengan pelan, "Mi, aku sebal dengan universitas itu," singkatnya, aku menanyakan mengapa dia kesal dengan kampus itu, "aku tidak diterima di kampus itu, Mi." Wiwik menepukkan pundakku, namun tepukannya itu membuat tidak nyaman, aku berusaha untuk melepaskan tepukan tangannya.

Tetapi aku memiliki perasaan yang semakin mengganggu—seperti firasat yang sangat buruk, ah tidak, aku harus keluar dari ruangan ini untuk terhindar dari arah yang tidak nyaman.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now