TIGA BELAS

15 3 0
                                    

Jantungku berdebar tak keruan, bisa-bisanya aku tertawa lepas di depan seseorang yang tak ingin kukenal, Soerya. Meski dia berusaha untuk menutupi kata-kata yang kurasa hangat dan membuatku nyaman dengan lawakan yang spontan, kurasa aku sudah lama tidak tertawa di depan orang.

Aku merasa sangat malu, mukaku bersemu merah, dan aku terburu-buru dan berusaha kabur dari Soerya yang pasti sewaktu-waktu akan mencegatku, dan melakukan banyak hal menyebalkan lainnya agar aku bisa bersosialisasi dengan mereka yang tidak aku sukai.

Memang, sedikit membekas perasaan ketidak sukaanku ketika kejadian di kelas tadi siang, seperti ada luka yang masih membercak di dalam diriku. Mereka menertawaiku ketika aku berusaha untuk terlihat baik-baik saja, seperti aku diolok-olok oleh mereka. Meski Soerya mengakui kesalahannya, Wiwik dan Tji Beng berada di sisiku lalu membelaku di hadapan mereka, aku tetap saja merasa sedih.

Aku berpikir kepada takdir, mengapa mereka dengan mudah mengolok-olok kan aku? Mengapa mereka tidak berpikir. "kenapa aku menempuh jalan ini sendirian?". Hah, mereka mungkin tidak menggunakan akal dan logika, untuk mempunyai sebuah kabar burung yaitu "gosip" belaka? Sungguh aku tidak mengerti lagi dengan dunia yang sudah semerawut.

Sepertinya aku ingin beristirahat sejenak melupakan hari ini, Berhubung esok hari adalah hari sabtu, aku ingin beristirahat sejenak.

***

Beberapa jam berlalu, hari kini sudah menjelang sore dan senja seolah mencoba meneduhkan hatiku yang sedang dirundung pilu oleh beberapa orang yang tak bertanggung jawab melukai perasaanku. Tentu, aku masih terpenjarakan dengan pemikiranku yang masih belum ada konkret dari jawaban jelasnya, seakan takdir tak bisa mendengarkan seluruh kekecewaanku dan seluruh amarahku yang kubungkus dengan senyuman palsu.

Tidak, aku rasanya ingin mengusir semua kenangan jahat itu, ah, meski seluruh orang itu sangat berjumlah sangat banyak di sekelilingku, tetapi aku merasakan kesunyian di balik keriuhan itu, belum lagi di rumah ini, yah, di rumah yang besar dan sepi. Tak ada yang bisa kuajak untuk mengobrol dan berkeluh kesah, bercanda ria bahkan tak ada menemaniku tidur. Sepertinya, aku sudah terbiasa berteman dengan sunyi. Hampa dan tak ada orang yang memenuhi "ruang kosong" dalam hatiku.

Kulirik jam yang tidak henti berdetak dan melenggokkan jarum jam untuk menunjukkan pukul 20:00 WIB, ibu dan bapak belum ada tanda keberadaannya saat ini, siaran film kesukaanku saja terasa sangat hambar dan tak mampu lagi menghiburku.

Sejujurnya, sejak aku mendengar penjelasan Soerya beberapa waktu lalu, tentang pesimisme yang aku pahami ini adalah salah, lalu apakah aku menjadi pribadi yang terjebak dalam pemikiran sendiri? Belum lagi, tentang kata-kata hangat itu, bermakna sebaliknya? Seolah dia bisa menebak dan menerka, bahwa aku sedang terdapat masalah di masa lalu. Seolah lampau dia tahu apa yang terjadi, lantas, mengapa dia seolah tahu dengan kondisi dan perasaanku serta mengerti aku? Mengapa dia sangat memperdulikan aku meski dia seperti tahu diriku, meski kami bertemu untuk kali keduanya.

Jika ini sebuah kisah dari seorang pendongeng di masa lalu, aku berani bersumpah, ini seperti kisah cinta yang terlalu klise dan kuingin mengkritik pada penulis itu, bahwa aku ingin berbahagia dan menghilang dari dunia ini. Kalau bisa, aku ingin bertemu dengan orang yang tidak semenyebalkan seperti Soerya yang sok tahu dengan duniaku.

Ah sudahlah, aku rasanya ingin mengubur semua reka adegan yang terjadi padaku saat ini, enggak, aku sebal dengan diriku sendiri. Sudah terpupuk banyak semua kekecewaanku, terkoyak sudah harap dan terenggut semua impianku akan memiliki teman,

Mereka tertawa dan riang di atas diriku yang sedang berduka dengan Takdir yang takkan mudah bagiku untuk berbahagia, sungguh tidak adil, namun aku seakan seperti tidak berdaya dan tidak ada kesempatan agar aku melawan.

Tentu, ini bukan sekadar kesedihanku, melainkan masa lalu yang ingin ku kubur beberapa tahun silam.

***

Arya Wibisono, aku telah mengingatmu dengan semua kebodohanmu itu mengenal perempuan itu agar meninggalkanku seorang diri dan sungguh tak jantan bagi seorang pria, yang membenciku—meninggalkan segudang tanya yang tak perlu digali lagi, karena berbalut luka dalam pertanyaan-pertanyaan bajingan itu.

Aku merasa telah terkhianati oleh semua janjimu yang rupanya memilih perempuan jahat tersebut yang merebutmu dan juga semua pertemananku itu dia hancurkan, batinku seolah terusik, ragaku juga menjadi saksi bisu akan masa lalu kita yang tidak baik-baik saja.

"Sudahlah, Laksmi, kau ingin menjahati Yayuk, 'kan? Jangan terlalu banyak alasan!" tekan mereka sambil menjatuhkanku di atas tanah yang lembab, aku mempertahankan seluruh fakta yang aku miliki bahwa diriku tidak melakukan tindak kejahatan, apa lagi dengan Yayuk yang beberapa waktu lalu mengancamku untuk merebut Arya dariku dengan paksa.

"Tidak, aku tidak melakukannya! Sungguh!"

"Lalu baju Yayuk tersobek hingga mukanya yang terluka itu apa? Dia melukai diri sendiri? Lucu sekali!" ujar mereka yang ikut serta menghardik diriku, aku berusaha untuk membela diri dan berujar kepada mereka semua.

"Demi Tuhan aku tidak melakukannya! Aku difitnah!" pandanganku tertuju pada Yayuk yang berpura-pura terlihat kesakitan dan seolah meringkuk kesakitan melihatku dengan wajah yang sangat licik.

"... Aku sakit, bajuku tersobek ... Laksmi memukulku," katanya yang melirikku dengan tatapan merendahkan, amarahku memuncak begitu dia menuduhku sembarangan, dan kata-kata itu lah yang menggiringku mereka untuk membenciku.

Ditambah lagi dengan Arya yang bajingan memilih Yayuk dan mulai berdekatan hingga bermesraan di hadapanku. Mulai dari fitnahan aku menyerangnya, hingga fitnahan yang tak berujung kepadaku. Tak hanya itu saja, akibat perundungan itu lah yang membuatku terlihat hina di mata mereka.

Di mulai aku yang mendapatkan hukuman sosial berupa pengucilan, dilecehkan secara verbal, tanganku ini dituang dengan cairan keras untuk "diberi pelajaran berharga" katanya. Bahkan, ada yang sampai melabeliku dengan hal-hal yang tidak senonoh dan tak layak untuk diucapkan. Hingga aku memasuki perpustakaan, dan membaca-baca sembarang buku untuk kubaca, dan hanya itu yang aku punya untuk menghibur diri.

Kubuka buku tentang filsafat secara acak, lembar demi lembar yang telah menguning itu kubaca secara perlahan, dan berakhir dengan pesimisme yang termapar dari Arthur Schopenhauer, menyatakan bahwa, "Manusia itu punya batas, dan lebih baik berbahagia untuk melepaskan segala kehendak yang kita punya, karena kita takkan pernah bahagia, karena hidup adalah derita untuk kita."

Kupikir lagi, hal ini sangat berelasi dengan keberadaanku sekarang, lebih baik aku menghilang dari dunia ini, melepaskan segalanya dari lingkaran setan yang bernama pertemanan. Buat apa aku berbaik hati untuk mereka? Toh, aku akan diinjak. Buat apa aku beramah-tamah kepada mereka bila berakhir tidak adil seperti sekarang.

Aku sudah sangat muak dengan dunia ini, terlebih dengan mereka, Yayuk dan Arya.

Berkat mereka lah aku menyadari, dunia ini sudah terlampau gila, maka aku ingin keluar dan menghilang dari dunia ini.

***

Sejam aku melamun, dan aku menyadari sudah pukul sembilan malam hingga aku tidak menyadari kedua orang tuaku sudah memanggilku untuk bertanya aku sudah makan atau belum, aku mendekati mereka dan kusalami mereka di kedua telapak tangannya.

Perutku tidak merasa lapar sedikit pun, meski aku tahu mereka membawakanku nasi goreng enak untuk dimakan bersama. Aku sangat tidak ingin makan saat ini, aku hanya ingin meratapi semua kekesalanku dan mengheningkan diri kepada Sang Pencipta bertanya-tanya tentang hari ini.

Mengapa Soerya tahu bahwa aku tidak baik-baik saja? Apa dia pernah merasakan hal yang sama juga dengan diriku?

Pertanyaan itu membawaku kepada satu kesimpulan: Aku harus punya nyali untuk berbicara dengan dirinya mengenai pesimisme, dia yang terlihat seperti cenayang, meski aku membenci keberadaannya. 

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now