DUA PULUH

9 3 0
                                    

Aku dan Yudhi berjalan pulang kembali ke arah rumah Soerya. Berkat percakapan pendek antara aku dan dia, aku jadi mengetahui apa yang terjadi dengan Arya, yah, walaupun aku tak ingin mencari tahu lebih mengenai kabar si berengsek Arya dan si pelacur Yayuk yang telah memporak-poranda hidupku.

Meski Yudhi dari tadi tersenyum dengan memberikan pesan tersirat dari percakapan terakhir yang membuat selalu terngiang-ngiang dalam pikiranku. Begitu pula dengan langit yang sudah mencerah disertai dengan semilir angin yang menerpa wajah. Seketika, aku melihat senyuman Yudhi yang lebar, aku teringat dengan kelakuannya yang menjahili Chitra dan beberapa temanku sore tadi.

"Mas Yudhi, anu, kenapa Mas bolos di kelas Romo Agustinus? Sampai mengorbankan nasib Chitra pula," sindirku dengan melirik kedua pelupuk mata Yudhi. Yudhi terkekeh dan menyibakkan anak rambutnya yang menutupi bagian kanan mata.

"Mereka kalah judi denganku, Mi," ungkapnya dengan tersenyum.

"Oh, kalian rupanya berjudi, tunggu ... berjudi? Jadi Mas berjudi dan bertaruh untuk tidak masuk ke kelas Romo Agustinus? Mas gila ya?" sarkasku dengan mendelikkan mata ke arahnya yang jauh lebih tinggi kira-kira tiga puluh centimeter daripada tinggiku. Dia hanya tersenyum dan melanjutkan langkah kakinya lebih cepat.

"Mas, sudahlah, mas cepat taubat!" seruku. Dia pun tertawa terbahak-bahak melihatku yang terlihat sedikit panik.

"Kamu menyuruhku taubat? Memangnya kamu itu ibuku? Sudahlah, kamu tidak terlalu khawatir dengan diriku, Mi, aku memang sengaja melakukannya," kata Yudhi dengan santai membuka bungkusan permen karet yang bermerek Yisan—permen yang terkenal karena tidak ada yang menemukan huruf "N" nya ketika sayembara mengumpulkan huruf dengan berhadiah satu juta rupiah. Aku menatap sinis dengan tajam ke arah Yudhi yang sedang asik mengunyah permen karet saat ini. Terlebih menyebalkannya lagi, dia membuang bungkusan tersebut di pinggir jalan, alih-alih dia bisa menyimpan di kantong saku dan membuangnya di tong sampah.

Sudah nyinyir, berjudi, membuang sampah sembarangan. Dasar cowok tidak jelas! Kesalku dalam hati. Kupungut sampah yang ia buang dan dengan kesal, kulemparkan sampah tersebut ke arah Yudhi. Kulihat dia mengaduh dengan berlebihan karena lemparan yang sebenarnya tidak memakai tenaga sedikitpun."

"Aduh! Aduh! Sakit!" bohong Yudhi yang kulihat dia berpura-pura sakit. Rasa kesalku semakin meninggi, dan hanya mengabaikan perkataan Yudhi yang penuh kenistaan tersebut.

"Laksmi! Aduh, aku sakit! nanti kalau kakiku pincang, aku tidak bisa berjudi lagi!" kata Yudhi dengan mencoba mencegahku. Aku masa bodoh dengan perkataannya yang mungkin saja membuatku ingin memukuli pria menyebalkan dan penuh sarkastik seperti Yudhi.

"Amputasi saja kakimu, dan jual saja di pasar biar kamu kaya, Mas!" pekikku dengan tetap melaju kembali ke rumah Soerya. Persetan dengan Yudhi dan semua logika berpikir yang menyebalkannya, tapi untung saja kukenal dia dari semasa kami SMA. Tentu, sikap menyebalkan dan sarkastiknya tetaplah sama dari dulu tidak berubah.

***

Beberapa menit berlalu, kami membuka pintu kamar Soerya yang tak kunjung sepi. Semua bernyanyi diiringi dengan Irwan yang memainkan gitar akustik milik Soerya yang sedikit sama dengan milikku di rumah, di sertai dengan bercanda dan bersuka cita di dalam kamar Soerya yang cukup sempit bagi kami yang cukup banyak. Ditemani dengan camilan dan minuman ringan, aku pun melihat Iwan yang membuat dialog pembicaraan.

"Omong-omong, aku dengar dari para dosen, katanya kita kampus kita akan menyelenggarakan debat filsafat antar kampus, untuk ulang tahun kampus ya, Bang Yud?" tanya Iwan dengan mengambil beberapa keripik kentang yang telah kubuka kepadanya.

"Oh itu, iya memang benar, itu baru dipertimbangkan dari fakultas dan juga HIMA, Wan," terang Yudhi dengan mencoret-coret dalam buku berukuran kecil.

"Mari kita berspekulasi, pasti dari Bandung, dan Yogyakarta pasti datang!" ungkap Iwan, setelah aku mendengarkan kata kota itu, bulu kudukku menaik, terasa merinding dan takut bukan kepalang. Wiwik yang disebelahku hanya bisa menepuk-nepuk pundakku dan membisikkan kata di dekat telingaku.

"Sabar ya, Laksmi," ungkapnya dengan menenangkanku. Di saat yang bersamaan juga, Soerya pun terdiam dan melihat Yudhi dengan tatapan menajam. Mengetahui tatapan itu saling bertukar pandang, Yudhi pun membalas dengan singkat.

"Kenapa Soer? Ada apa?" tanya Yudhi. Soerya pun menggelengkan kepalanya, aku tak mengerti apa yang Soerya rasakan, meski begitu aku juga merasakan ada hal yang aneh terjadi kepada Soerya setelah mendengar ulang tahun kampus, Soerya pun berdecak pinggang dan mengela napas panjang.

"Jangan ada yang nunjuk aku sebagai anggota debat lagi, serius, aku bosan!" keluh Soerya dengan sebal, Iwan pun melirik kepada Soerya dan menyindir.

"Ya tentu pasti Soerya yang ditunjuk, wong dia pasti jadi model fakultas, lihat saja! Soerya saja tampan, ya pasti para mahasiswi dan ibu-ibu suka lah, duh!" Soerya pun melempar bantal ke arah Iwan yang berakhir pergelutan. Iwan mengaduh ketika lemparan bantal itu mendarat tepat pada wajahnya, seketika kami pun menggelak tawa dengan kencang sejadi-jadinya. Karena terlalu berisik, aku merasa sedikit kurang nyaman, kepalaku pusing dan ingin segera pulang, tak terasa kebetulan pula kini sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

"Anu, teman-teman, aku pulang dulu ya, kawan-kawan, jam segini pasti sudah dicari dengan kedua orang tuaku," jelasku dengan merapikan barang bawaanku. Semua terdiam dan melihat ke arahku, tak terkecuali dengan Soerya. tatapan mereka seakan memaksakanku untuk lebih lama bercengkrama bersama mereka.

"Ayolah, Laksmi! Tidak mengapa jadi anak bandel!" goda Chitra dari kejauhan. Aku meringis dan berdiri di depan pintu kamar Soerya. Tak lama, Wiwik pun menyentil dahi Chitra dengan pelan.

"Chit, sudah jam segini pasti anak perempuan akan dicari! Toh dia tidak mengekos seperti kita!" balas Wiwik yang tertawa pelan, Soerya pun berjalan ke arahku dan mengambil jaket miliknya. Ketika aku ingin menjawab untuk berpisah, Soerya dengan gesit berjalan menuju ke arahku.

"Ya sudah, aku antarkan dia pulang," singkatnya dengan menarik tanganku ke arah pintu rumah. Semua terdiam begitu juga aku, dari kejauhan kudengar banyak dari mereka.

"Dah, Laksmi! Hati-hati di jalan!" ungkap salah satu dari mereka, namun aku tidak menjawab ucapan dari mereka. Soerya menuntunku ke arah pintu keluar rumah dan merapikan pakaiannya, kulihat juga dia duduk dan dia menalikan sepatunya.

Sungguh, aku merasa tidak enak bila di antar langsung oleh pria yang kuomeli beberapa waktu lalu. Aku berpikir kembali pertemuan kami yang terbilang cukup tidak ada romantis sama sekali, nihil. Mungkin, Tuhan sebercanda itu kepadaku, setelah aku menyelamatkannya yang padahal untuk tidak berisik di sekitarku, rupanya Takdir mempertemukan kami dengan cara aneh. Hingga saat ini, aku tak mengira diterima pada lingkungan pertemanannya, meski awalnya cukup alot antara aku, Soerya, Chitra, dan beberapa teman lainnya.

"Omong-omong, Laksmi—" putus Soerya yang memecahkan lamunanku, aku pun menoleh ke arah Soerya yang rupanya sudah berdiri di hadapanku.

"Ah, iya, anu—ada apa, Soerya?" tanyaku dengan gugup, Soerya tersenyum padaku dan mengusap pucuk kepala.

"Bagaimana perasaanmu setelah punya banyak teman, Mi?" tanya Soerya dengan lembut, aku membalas senyuman tipis kepada pria yang berdiri di hadapanku.

"Berbeda dari yang biasanya," jawabku dengan pelan. Soerya yang meminjamkan helm bulat itu kepadaku lalu membuka pintu kayu untuk keluar dari rumahnya. Aku baru menyadari ada yang janggal dengan gelagat Soerya sejak Yudhi membicarakan tentang debat filsafat tahunan yang biasa diselenggarakan oleh kampus kami.

"Omong-omong Soer—" putusku dengan menarik baju Soerya dengan pelan.

"Hm?" deham Soerya yang membalikkan badannya ke arahku. Tanpa basa-basi aku memberanikan diri untuk membuka pertanyaan yang selama ini mengganjal selama setahun yang lalu.

"Anu, memang apa yang terjadi pada debat tahun lalu?" tanyaku berterus terang kepadanya. Wajahnya kini menjadi masam, dan ia mengela napas berat. Aku sangat curiga ada yang terjadi kepada dirinya dan juga kejadian tahun lalu.

"Akan aku ceritakan, nanti. Tentang aku, debat tahun lalu dan mahasiswa yang sebentar lagi akan selesai masa skorsing-nya," tekan Soerya dengan nada menahan amarah. Aku mendekati Soerya dan menyamakan kecepatan jalanku dengannya. 

"Siapa dia?" tanyaku. 

"Adjie Pramono, lelaki yang hati nuraninya sudah diloakkan di pasar ikan," Hina Soerya yang mengepalkan tangannya dengan kencang. 

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now