DELAPAN BELAS

10 3 0
                                    

Hari-hariku terasa berbeda dari biasanya. Sebelumnya aku ingat, ketika dulu aku pulang dan pergi ke kampus. Tetapi aku harus mulai beradaptasi dengan situasi baru—dengan keluar zona nyamanku dan membangun kepercayaan kepada mereka, walau tidak besar. Yah, aku sekarang mulai berkenalan dengan dunia luar, yaitu pertemanan.

Soerya, Wiwik, Chitra, Tji Beng, Irwan, Iwan, Jasmoro, dan Djatmiko. Aku tak menyangka, bahwa aku dianggap teman oleh mereka. Meski dari awal mereka berbeda dunia denganku, setidaknya aku belajar untuk menapaki dunia yang berbeda. Kuharap, ada sebagian kebahagiaan untukku walau hanya sekecil semut.

Kulihat mereka berjalan di depanku. Begitu juga dengan Soerya yang berjalan di sampingku, walau aku yang masih sibuk melamun dalam pikiran, kulirik sesekali dia yang rupanya jalannya mengikuti ritme jalanku, mata kami sesekali bertemu. Hah, memalukan.

Kudengar Soerya berdehem pelan memecahkan semua lamunanku.

"Laksmi," sapanya. Aku pun menoleh ke arah Soerya.

"Apa, Soer?" tanyaku singkat.

"Aku minta maaf soal kemarin," jujurnya, aku berjalan santai di sampingnya dengan memegangkan tas pundak ku. Langkah kakiku terhenti setelah menyadari Soerya yang berhenti di belakangku, teman-teman melihat kami dengan penasaran. Kulihat lagi, Soerya memberikan isyarat agar kami akan menyusul mereka.

"Tentang apa?" lanjutku dengan melihat Soerya yang berjalan di hadapanku.

"Tentang pemahamanmu dan tentang masa lalumu yang terpaksa kamu buka lagi gara-gara tekananku," ungkap Soerya yang mendekat dan berdiri depanku. Kusunggingkan lengkungan senyum kepadanya, entah mengapa angin pagi yang sejuk ini menyelimuti kami dalam perbincangan yang mendalam pada pagi hari ini.

"Sudah, simpan saja minta maafnya untuk hal yang bermakna pada hidupmu. Toh, karena kamu juga menyadarkanku, bahwa sejatinya kita—manusia, tidak pernah lepas dari penderitaan dan masalah setiap harinya, 'kan?" jawabku dengan terkekeh. Dia terkejut dengan jawabanku, ia menggelengkan kepala dan seakan tidak percaya dengan jawabanku.

"Tunggu, kamu mendengarnya dan langsung mempraktek apa yang kubilang? Wah aku berasa seperti guru besar!" akunya, lalu aku menepuknya dan berjalan menuju halte bus yang sebentar lagi akan berhenti di depan kami."

"untung Kaisar Marcus Aurelius sudah wafat, kalau mendengarmu menyombongkan diri, yang ada kepalamu ditebas," candaku dan segera berjalan menuju halte bus. Disusul dengan Soerya yang berjalan cepat mengejarku.

***

Beberapa jam berlalu, aku masih fokus mengikuti mata kuliah filsafat modern. Tentu saja, Soerya lah yang selalu ditunjuk untuk di jawab pertanyaan oleh Romo (Baca: Pastor) Agustinus.

"Baik, Soerya, apakah di dunia ini adalah keniscayaan bahwa tidak ada yang pasti?" tanya Romo Agustinus.

"Memang tidak ada yang pasti di dunia ini, Pak. Tetapi, saya percaya, hal itu bisa pengecualian bila kenyataan bahwa seseorang itu bisa berpikir," jawab Soerya dengan singkat dan percaya diri. Sesekali, ia melirik ku dan mengedipkan matanya. Seketika aku terasa merinding di buatnya.

"Oke saya lempar pertanyaan nya, sekarang saya ingin bertanya dengan Yudhi Bramathyo," lanjut Romo Agustinus, namun semua terdiam, tidak ada jawaban sedikit pun dari kami semua. Romo Agustinus mengedarkan pandangannya ke arah kami.

"Yudhi di mana? Dia tidak hadir?" tanya Romo Agustinus yang menutup buku absennya. Chitra pun berdiri dari bangku, dan ia pun memberi tahu kepada Romo Agustinus tentang Yudhi yang tidak hadir karena ia sedang menyiapkan liputan yang akan diadakan oleh tim Jurnalistik kampus.

"Hah, anak itu. Mohon bilang kepadanya, ikut kelas sebelum ujian tengah semester. Atau saya keluarkan dari mata kuliah saya, ya, Chitra," perintah Romo Agustinus dengan raut wajah yang amat menyeramkan. Bahkan, lebih menyeramkan daripada diburu oleh tentara. Lalu, Chitra duduk seperti semula dan dia merapikan bukunya serta melirik arloji di tangan kirinya.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang