DELAPAN

25 6 32
                                    


"Wah, kamu dapat jackpot besar! Sudah kemarin kamu gagal taruhan, sekarang kamu harus bertarung dengan perempuan aneh itu! Hahaha!" tawa Djatmiko melihatku dengan miris, tak hanya itu, seluruh teman-temanku yang kini berjalan menuju bus parkiran motor bersamaku ini seolah merendahkan seseorang yang bernama Laksmi di hadapanku.

Semua orang menggelakkan tawa dengan kencang, dan aku melihat Chitra mengorek-orekkan tasnya, lalu mengeluarkan buku kecil yang sebesar telapak tanganku yang besar.

"Omong-omong, ini buku Laksmi yang tak sengaja aku pungut dari mejanya karena dia lupa. Enaknya kita baca enggak ya?" tanya Chitra dengan remeh, lalu aku mengambil buku yang digenggam Chitra. Tuman! Sudah melanggar privasi, sangat keterlaluan mereka merendahkan seseorang dan sampai-sampai melupakan kesopanan mereka.

Jika aku biarkan mereka seperti ini, bisa-bisa mereka menjadi banyak berlagak seperti penguasa yang arogan. Aku harus memberhentikan ketidak sopan-santunan mereka sebelum lebih dalam.

"Berengsek. Kalian ini keterlaluan!" umpatku dengan tegas, semua tertegun diam. Seluruh mata menatapku dengan tatapan keheranan, terlebih lagi dengan Chitra dan Irwan yang melihatku dengan tatapan sangat bingung, aku mengambil buku yang disebut-sebut milik Laksmi yang direndahkan oleh mereka beberapa waktu lalu.

Dengan dongkol, aku menatap mereka satu-persatu dengan tajam. Aku menggosokkan kepala dengan cukup kasar tak peduli angin sore sudah menghembus ke permukaan kulitku saat ini.

"Soerya, kamu kenapa? Kamu kesurupan?" tanya Wiwik dengan keheranan, aku maju berdiri di hadapan mereka semua, dengan penuh kekesalan, aku menjitak kepala mereka masing-masing. Mereka saling mengaduh dan mengusap kepala mereka masing-masing.

"Kalian ini diajarkan sama orang tua, enggak sih? Jangan mengata-ngatai orang lain! Pakailah logika kalian, bodoh! Pasti ada alasan Laksmi menjadi pesimis! Kalian kenapa sih enggak mendengarkan pemaparan? Cerna baik-baik!" omelku dengan penuh kekesalan.

Semua terdiam, namun Jasmoro pun menjawab dengan cermat dan teliti. Kuliat gelagat dia dengan cukup rileks.

"Soerya, ya tahu sih Laksmi pasti ada masalah dengan dirinya dan sampai percaya dengan paham seperti itu, tapi kan itu di luar kendali kita, bukan? Toh, yang kita lakukan hanya mengkaji pahamnya, 'kan?" ungkap Jasmoro dengan santai,

"Enggak begitu konteksnya, Kawan, yang aku mempermasalahkan adalah, kenapa kalian bisa-bisanya merendahkan orang padahal kalian enggak tahu latar belakangnya. Sampai kamu, Chitra. Ingin membuka buku orang?! Sungguh tidak sopan," cecarku dengan masih menahan amarah, akibat perangai mereka yang cukup arogan, meski aku tak tahu kronologis yang terjadi padanya di ruang kelas tersebut.

"Jadi kamu enggak tahu Laksmi ini seperti apa tadi di kelas?" tanya Iwan yang melihatku dengan tatapan malas dan menghela napas panjang.

"Dia itu aneh, masa ditanya tujuan hidup saja dia sampai bereaksi ketakutan seperti itu, sudahlah, kembalikan buku itu, Soerya." Tangan Chitra sudah mengisyaratkan aku untuk memintanya buku yang kugenggam ini kembali.

Namun aku tak peduli dengan ucapan mereka, karena aku tahu kondisi orang yang dirundung seperti apa—tepat seperti yang dialami oleh adikku.

"Tidak, terima kasih, aku enggak pengin merendahkan harga diriku untuk menjelekkan orang lain, dan aku enggak ngerti maumu apa. Tapi yang jelas, membuka aib orang itu enggak baik!" tegasku dengan tersenyum kepada mereka. Yah, memang itu lah orang lain, terkadang suka kurang ajar dengan perilakunya masing-masing.

Tidak ingin dirundung, tapi sendirinya merundung orang. Enggak mau diekspos kejelekannya sendiri, tapi suka memperbincangkan keburukan orang. Maunya apa? Kuda nil goreng kecap? Kan lawak. Yah, selawak mereka yang melakukan demikian. Terlepas dari pikiranku, aku pun mendengar Tji Beng menepuk bahuku dan membuat suasana kembali mencair.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang