EMPAT BELAS

13 2 0
                                    

Aku termangu melihat jam dinding terus berdetak, seolah berirama di dalam pikiranku. Tak habisnya aku memikirkan sosok wanita itu—Laksmi. Mengapa semua ini saling terkait satu sama lain? Mengapa dia sama seperti pernyataan adikku yang ingin menghilang tanpa ada jejak meski hampir dan nyaris itu terjadi padanya?

Tidak, aku tidak boleh berprasangka secara berlebihan kepadanya, bahkan senyuman yang terukir wajah Laksmi membuat hatiku berdebar pun, aku tidak boleh terperdaya dengan hal tersebut. Meski senyuman itu bisa seolah menghentikan waktuku, tapi tidak dengan kerasionalan pikirku.

Hah, mengapa aku terasa berkonspirasi atas kehadiran perempuan yang menarik diri dariku atau lingkungan pertemananku. Dasar perempuan aneh.

Tanpa aku sadari, pikiran-pikiran itu membuatku semakin memberatkan mataku, menuntun kepada titik ternyaman yang kurasa, belum lagi didukung dengan angin sepoi yang menemaniku keluar dari realita—mimpi.

***

Kutatap wajahmu dalam,

Kurengkuh setiap jengkal rambutmu,

Lekukan bibirmu seperti bulan pada malam,

Terasa aku ingin menjangkau dirimu,


Tiap Kali aku berlari kepadamu,

Engkau pun pergi dengan penuh tanda tanya,

Mengapa kau bermuram durja di pelupuk matamu?

Enggan kau jawab dari pertanyaan yang berirama?


Kau pergi seolah tidak peduli,

Dengan hatiku yang kauporak-poranda,

Apakah kau berlari dan berpura-pura tuli?

Atau tak acuh dengan semua yang ada pada dunia?


Tuhan, bila Engkau melihatku,

Kumohon jawablah pertanyaan ini,

Meski jawaban itu terkuak oleh waktu,

Aku hanya bisa berharap dalam andai,

Meski aku ingin, dia keluar zona nyaman dalam dunia nya. Kuharap.

***

Tatapan kami saling beradu, tangan kami saling bertemu, kulihat dirimu yang kini seolah memberi tanda kepadaku tentang apa yang terjadi padamu. Laksmi, meski aku kali kedua bertemu denganmu, entah keberadaanmu mengingatkan rasa sakit yang terasa pada adikku.

Meski tidak gamblang terucap pada lisan, aku melihatmu meneteskan air mata dari pelupuk matamu. Raut sedih seolah tidak bisa lagi membendung semua kesedihan yang kaurasakan, bahkan lebih pahit daripada kopi hitam pekat yang terasa pada indera pengecap beberapa jam lalu.

"Maaf, aku ingin menghilang, karena aku tak kuat dengan semua beban yang aku rasakan," katamu yang kini duduk meringkuk di hadapanku.

"Mengapa kau terasa lelah?"

"Kau tahu? Aku ingin menghilang saja dari dunia ini karena perundungan yang terjadi pada diriku, mungkin saja, kau tak mengetahui bagaimana rasa sakit itu datang dari orang yang kamu percayai dan kaucintai," ungkap Laksmi yang masih terisak dalam tangis, suara itu mulai getir seakan tak mampu untuk berucap lebih banyak pada lisannya.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now