EMPAT

51 18 153
                                    

Kuratapi bumi,

Langit yang kini menemaniku kala duka,

Awan sendu hadir dalam sunyi,

Bilur menghujam dalam nestapa.


Aku meratap pada semesta,

Kutahan tangis yang seolah membuta,

Mari kita rayakan kesenyapan dengan luka,

Yang telah hancur lebur dalam realita.


***

Lagi dan lagi, awan pagi tak bisa kuduga seolah menggelap dan merintikkan rinai di atas bumi yang kupijak, langkahku sudah mulai basah dengan derai rintik hujan yang membasahi sepatu yang kukenakan.

Sambil berjalan, aku masih memikirkan pertanyaan ayah yang membuatku tersinggung dan terpaksa membongkar kotak terlarang dalam pikiranku, yah, seperti mengingat kenangan pahit bahkan lebih pahit daripada sayur pare yang dimasak oleh ibu beberapa waktu lalu, bahkan rasa pahit dan aneh terngiang-ngiang dalam pikiranku.

Aku kembali pada kesadaranku melalui bau tanah yang basah, lalu kutatap payung ku yang berwarna hitam seakan memiliki rasa perlindungan dari hujan yang mungkin membuat perasaanku makin memburuk bila membasahi rambutku tanpa permisi—atau bisa saja, senasib dengan daun gugur yang basah dan berserakan, di sepanjang jalan menuju pemberhentian bus kuning antar gedung kampus.

Tampak dari kejauhan, aku melihat banyak gerombolan orang-orang menunggu bus yang berwarna kuning itu hadir. Sungguh, aku sangat tersiksa dengan ini semua. Aku sangat ingin menghindar dari kerumunan orang-orang itu, tapi waktu seakan memaksaku untuk masuk ke bus yang akan lekas berangkat. Bila tidak, aku akan ketinggalan materi kuliah dan bila aku tertinggal, pasti aku akan mau tak mau berinteraksi dengan teman-teman kelas untuk menanyakan materi sebelumnya. Menyebalkan.

Dan lebih baik aku masuk ke kampus daripada aku harus berinteraksi lebih di luar jam mata kuliahku.

Terlebih lagi, hari ini ada kajian filsafat manusia. Yah, salah satu kajian yang aku sukai, dan kebetulan dosen yang yang pemangku mata kuliah ini juga seorang sastrawan dan juga penulis esai filsafat terkenal yang memang sangat aku hormati walau kami seringkali berbeda pendapat.

Entah mengapa, ketika aku melihat dosen itu terlihat sangat baik dan bijaksana walau penampilannya seperti urakan dan rambutnya dicepol—yah, itu sebagai tanda trademark yang mencirikan dirinya.

"Oh hei! hari ini ada Pak Djoko, 'kan? Wah, berarti aku bisa melihat cepolnya yang mengkilap hari ini!" ungkap salah satu pria yang berlalu, begitu juga temannya yang terkikik mendengar guyonan yang dilontarkan oleh salah satu temannya. Suara mereka yang cukup besar membuatku terdengar jelas di sepanjang jalan, bukannya aku ingin menguping pembicaraan mereka, tapi aku selalu menikmati perbincangan di antara mereka walau aku tak terlihat di antara mereka. Menyenangkan sekali bila aku bisa mendengar ceritanya tanpa melibatkanku dengan hubungan orang lain.

"Eh, Bim! Kau lupa dengan cerita Soerya? Itu cepol, bukan sembarang cepol! Ikatan cepolnya itu dengan peluru laras panjang! Tajam!" celetuk temannya yang seketika membuat aku sedikit terkejut.

"Wah, aku curiga juga, apa jangan-jangan dia pembunuh berantai?! Atau dia sebagian massa penggerak yang melawan pemerintah? dia sampai punya peluru tajam, bukan karet!" curiga yang dipanggil Bim itu. Temannya pun terdiam dan menggosokkan rambut yang bergelombang, ia pun menghembuskan napas panjang

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now