LIMA

46 16 100
                                    

Semua orang membicarakanku, mereka memanggil namaku dengan sebutan aneh. Semua seakan mengejekku karena jawabanku yang mungkin tak bisa dicerna oleh mereka yang menatapku aneh, dan aku merasakan seperti itu. Yah, tatapan seakan jijik dan pantas diusir dari kelas ini—kelas yang kusukai. Pada awalnya.

"Laksmi aneh ...."

"Orang kok enggak ada harapan? Kasihan sekali."

"Perempuan kok pesimis, bagaimana mau memberantas patriarki? Lemah!"

Dan hinaan lainnya yang tak sengaja kudengar dan membuatku sangat tak nyaman, tentu saja ini yang dianggap oleh filsuf Arthur Schopenhauer. Seseorang akan selamanya terjebak pada penderitaan yang sama, bagai ia terjebak dalam pusaran air yang bisa menenggelamkan diriku ke berbagai problematika takkan pernah habis di dalam hidupku yang terlalu banyak derita yang aku alami seorang diri.

Hingga kenyerian ini membawaku ke tanda-tanda fisikku yang tak lagi sehat, jari jemariku bergetar hebat, kulit tubuhku dibasahi oleh keringat dingin hingga sebujur badanku, bahkan hingga bisikan itu membuatku seakan menjadi tidak waras yang didorong dengan bisikan-bisikan itu memicu untuk membuatku merasa bersalah ku semakin membesar.

Aku melihat Chitra yang rupanya mengkhawatirkanku di sana, walau aku tak bisa mendengar jelas apa yang dikatakannya kepadaku. Sejujurnya, aku tak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Chitra. Hingga kepalaku merasa berat sekali. Namun aku harus menahannya seorang diri hingga kelas ini selesai.

***

Setelah beberapa menit berlalu, aku bersegera keluar dari kelas dan berlari secepat mungkin tanpa mempedulikan orang lain berasumsi apa tentang diriku. Kedua daun telingaku terasa panas dan lelah ku semakin menjadi-jadi ketika aku harus sabar menunggu kelas Pak Djoko itu selesai.

Aku enggak bisa menerima, kenapa sih mereka menggosipkan aku? Toh, hidup ini derita dan takkan pernah habis! Kesalku dalam hati.

Kukepalkan tanganku dan seolah ingin berteriak kencang atas omongan mereka yang menghinaku walau tak secara gamblang kepadaku, seperti pengecut yang semena-mena menilai orang dari apa yang ia lihat. Aku tak habis pikir, mengapa mereka dengan mudahnya menghina orang di belakang?

Karena menggosip jauh lebih mudah dan dengan dalih takut menyakiti? Omong kosong! Bila tak suka mengapa mereka tidak memberitahuku? Mengapa banyak orang disekitarku sama saja busuknya?! Tidak di Jogja, tidak di tanah Jakarta. Sama saja jahatnya! Kenapa mereka tak ingin mencari tahu mengapa aku memilih paham ini, dan memilihnya untuk menjelekkannya? Percuma ada otak kalau tak terpakai dengan baik!

Langkah cepat ku membawaku ke suatu tempat yang sangat sunyi. Bahkan banyak mahasiswa yang jarang mengunjungi tempat ini, yaitu ke hutan buatan yang menjorok ke arah danau. Meski hutan ini lebat, aku merasakan jauh lebih tenang. Tak ada orang yang bacar mulut kepadaku, tidak ada lagi yang menatapku dengan sinis juga. Tidak ada yang disakiti, mudah bukan?

Gundulmu! Umpatku dalam hati.

Hah, sudahlah, aku ingin menenangkan diri di hutan ini agar aku bisa kembali membaik baik atas semua emosiku yang ku redam dalam hati. Walau kini sudah menjelang siang, ku merasa aku memilih ke tempat yang tepat. Memilih ke tempat paling sunyi, paling cocok untukku yang suka menyendiri. Aku lebih baik merasa seperti orang asing daripada aku harus terlibat kepada orang banyak yang mungkin saja suka menjilat sana-sini, untuk mencari perhatian.

Di luar itu, aku ingat bahwa hari ini hanya memasuki satu kelas saja.

"Huft, untung saja hari ini hanya satu kelas, coba kalau kelas perkuliahan itu seharian? Bisa mati aku!" ungkapku dengan menghela napas panjang sambil duduk di bangku yang menghadap langsung ke tepi danau.

PEREMPUAN YANG TAK INGIN DIKETAHUI ORANG ✅Where stories live. Discover now