Tentang Langit

35 8 1
                                    


Bus berhenti. Kuhitung, ini sudah halte keempat. Sisa dua lagi. Penumpang naik. Beberapa dari mereka tampak familiar. Bertemu mereka setiap hari tentu tidak akan seasing planet Mars. Sama sepertiku, mereka pelanggan tetap moda transportasi murah ini. Hari ini biasa saja. Yang sedikit berbeda mungkin langit mendung di langit timur sana.

Di antara penumpang yang naik, seorang wanita berpakaian serba hitam tampak mencari-cari kursi kosong. Dan dia melirik ke arahku. Kursi kedua terakhir sebelah kiri, dekat jendela. Wanita itu mendekat. Mungkin karena penampilanku dia berani. Wanita itu duduk di sampingku.

Aku tersenyum padanya. Wanita itu pun membalas senyumanku. Meskipun wajahnya tertutup kain hitam, matanya yang menyipit jelas menggambarkan kalau dirinya sedang dalam 'mode riang'.

Bus bergerak. Aku mencoba mencairkan suasana,

"Bagaimana rasanya berpakaian seperti itu? Maksudku, bercadar." Aku menggerak-gerakan tanganku di depan mulut. Wanita itu tampak terkejut. Mungkin dia tidak menyangka aku bisa seberani ini. Wanita itu berani duduk di sampingku. Lalu apa salahnya aku bertanya?

"Selalu menyenangkan, bisa memenuhi seruan Tuhan." Jawabnya. Terdengar diplomatis bagiku.

"Meski itu terkesan kolot?" Tanyaku lagi. Wanita itu tertegun sejenak.

"Mode itu relatif. Apa yang tren hari ini, dua minggu ke depan tidak lagi. Istilah back to classic itu tepat, bukan?" Jelasnya. Aku menunjukkan ekspresi sedang menimang. Tidak sepenuhnya salah.

Aku lalu bertanya tentang kesehariannya. Wanita itu mulai bercerita. Dia lulusan Teknik Informatika. Dan sekarang dia bekerja sebagai guru di sebuah taman kanak-kanak. Sembari melanjutkan studi di bidang administrasi publik. Lalu kami berdiskusi tentang perilaku anak, tentang kecerdasan psikomotorik-kognitif semacamnya, dan jelas wanita itu tahu apa yang sedang dibicarakannya. Diskusi kemudian beralih ke topik agama.

"Bagiku, Tuhan seperti pilih kasih. Dia hanya menurunkan nabi untuk bangsa Timur Tengah. Bagaimana dengan Hawaii? Kepulauan Marshall. Mereka masih paganisme." Aku mencoba mengakui 'pemberontakanku'.

"Dan saya bersyukur, tidak pernah sedetik pun memikirkan hal-hal semacam itu." Sambut Si Wanita. "Sepertinya Anda terlalu mensifati Tuhan dengan sifat-sifat kemanusiaan. Tentu itu hal yang keliru." Sambungnya. Aku sedang tidak ingin berdebat saat ini.

"Sejarah manusia begitu panjang. Kita mengenal agama dalam dua kategori. Agama samawi, atau agama langit, Anda bisa menyebutnya seperti itu. Lalu agama bumi, agama buatan manusia. Kedunya akan tersebar, cepat atau lambat." Jelas wanita itu. "Agama samawi dibawa Nabi Ibrahim. Itulah mengapa kita menyebutnya Abrahamik. Sejarah mereka berkutat di Palestina, Nazaret, Mesir dan sekitarnya, lalu jazirah Arab. Ini tentang Ismail, Ishaq, Yusuf, Musa dan Sulaiman." Imbuhnya.

"Agama langit. Orang-orang Yahudi, jika Anda bertanya siapa Tuhan mereka, mereka akan menjawab, 'Allah'. Tapi kemudian mereka mendurhakai nikmat Tuhan. Kristen, ajaran mereka terkontaminasi paganisme. Dan Islam adalah agama penyempurna. Termasuk penggunaan cadar ini, ini bagian dari ajaran Islam. Manusia selalu merasa paling benar, padahal mereka hanyalah ciptaan. Mereka punya detault pabrik yang harus dipatuhi." Aku tergelak mendengar kalimat itu.

"Anda punya wawasan yang bagus. Apa semua orang yang berpenampilan seperti Anda punya pemikiran seperti itu?" tanyaku penasaran.

"Sebelum berhijrah, saya banyak membaca referensi pop kultur." Mata wanita itu kembali menyipit. Itu artinya dia sedang tertawa. Aku menganggukkan kepala.

"Ah, kita belum berkenalan. Saya Minetuo. Anda?" Wanita itu mengulurkan tangan.

Aku belum menjabat tangannya. "Orang-orang biasa memanggilku Farah. Tapi nama asliku adalah Putra Wijaya." Responku.

Sontak mata wanita itu membulat sempurna. Aku bisa melihatnya dengan jelas meskipun dari balik cadar. Tubuhnya gemetar.

"Anda seorang pria???" Tanyanya panik.

Untuk LunaWhere stories live. Discover now