Bagian VI

74 14 5
                                    


Pagi ini, ada lagi tamu yang datang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pagi ini, ada lagi tamu yang datang. Seperti kemarin, mereka berjumlah ganjil. Satu wanita dan dua pria. Yang menyenangkan mata tentu saja Sang Perempuan. Berparas muda, usia sedang cantik-cantiknya.

Si Wanita memakai kemeja putih, celana kain hitam hingga betis. Agak segan juga Spencer memandangi rambut Si Wanita, yang tergerai bebas ke bawah.

Adapun dua pria lainnya, terlihat seperti tokoh film delapan puluhan. Asing dan menakutkan.

Spencer mempersilahkan ketiganya duduk. Si Wanita berparas cantik tersenyum dan segera memperkenalkan diri. Dia menyatakan diri sebagai perwakilan PT Bumi Digdaya.

Jessica namanya. Putri direktur utama. Dia diutus langsung untuk menemui Spencer. O tentu saja. Orang-orang hebat beranakkan orang-orang hebat juga. Spencer tidak dapat melihat perbedaan antara Jessica dengan ayahnya.

Jessica yang bertugas sebagai front marketing mengambil posisi, lalu berbicara panjang sekali (dalam cerita yang berbeda, dia yang merupakan anak CEO terkemuka adalah tokoh utama, yang terlibat cinta pelik nan terlarang dengan tokoh laki-laki yang miskin alias partikelir alias rombeng alias pengangguran tapi kaya hati. Omong kosong!).

"Intinya, perusahaan kami tertarik untuk membeli properti milik Bapak." O, manis sekali kata-kata itu. Gula-gula rayuan berseliweran. Bukan saatnya Spencer mabuk kepayang. Kemarin aset, hari ini properti. Mana sih yang benar?

"Teriring salam hormat dari Pak Direktur, Bapak Spencer." Sambung tali pengikat lagi, kata-kata Jessica.

Spencer menggeleng-gelengkan kepala. Dia tidak habis pikir. Bangunan PT Bumi Digdaya tinggi menjulang. Untuk apa beli tanah lagi? Apa mereka kekurangan tempat parkir? Saban hari ada saja mobil dan motor yang nongkrong di halaman milik Spencer. Mungkin itu sebabnya.

"Bicara nilai-nilai, kami berani bayar besar." Kicau Jessica.

Nilai dan norma maksudnya, pikir Spencer.

"Satu em, Pak Spencer. Bagaimana?" tanya Jessica.

Spencer menggaruk-garuk kepala. Jessica menuliskan angka-angka bulat di atas kertas. Ada sembilan butir. Pikirnya Aku tolol? Batin Spencer lagi.

"Bagaimana, Bapak? Selain ini, kami bersedia memberikan fasilitas yang layak. Apartemen, Bapak." Tanya Jessica berulang-ulang.

"Pergi." Kata Spencer pendek.

Dia telah muak mendengar semua apartemen, kondo dan apa. Semua itu masa lalu.

"Tapi, Pak. Apartemen itu bagus, lho. Luas" Jessica cukup cerdas memilih kata-kata. Padahal dalam kepalanya : Jauh lebih bersih, jauh lebih terang, jauh lebih higenis, dan jauh lebih stylish. Ya masa Bapak nggak mau."

Spencer sudah berdiri, tangannya sudah menunjuk ke arah utara.

"Saya minta kalian pergi. Keluar sekarang juga!"

Jessica tergagap-gagap. Dua pria di sebelahnya berdiri. Tahu-tahu leher Spencer sudah tercekik. Lengan mereka benar-benar besar. Spencer megap-megap. Ini benar-benar penghinaan. Setelah itu tubuh Spencer didorong ke belakang.

Terbatuk-batuk, Spencer menyaksikan tiga orang itu meninggalkan rumah. Bahkan Jessica yang sejak tadi begitu manis, berjalan cepat tanpa menoleh.

Untuk LunaWhere stories live. Discover now