Bagian X

57 12 4
                                    

Hari ini hari Minggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini hari Minggu. Apa yang direncanakan Spencer, akhirnya dapat terwujud hari ini. Dengan napas terengah-tengah, Spencer setengah jalan menyusuri bukit, menjauhi kota.

Sudah lama Spencer mengidamkan ini. Pas kena hari libur, dia bisa berkunjung ke tempat favoritnya : Gunung Osith. Aduh senangnya. Gol, gol, ale, ale.

Cahaya matahari semakin terang. Hawanya bercampur dengan dingin dari hutan. Spencer tersenyum lebar. Sedikit lagi dia sampai.

Gunung Osith punya ceritanya sendiri. Orang-orang mungkin menyebutnya gunung, tapi sebenarnya itu adalah gundukan tanah yang tinggi. Jika dilihat dari lembah, sekilas terlihat seperti piramida. Meskipun di dataran tinggi, tapi tumbuhannya justru seperti tanaman di pinggir pantai.

Pohon-pohonnya kerdil, berbatang keras berwarna hitam abu-abu, daunnya lonjong membentuk oval. Orang-orang terdahulu, yang pertama kali menemukan, cukup yakin itu semua adalah pohon mangrove. Bagaimana bisa ada di sana? Tidak ada yang tahu.

Tepat di puncak gunung, pohon mangrove yang tumbuh begitu banyak dan lebat. Karena di atas sana, ada sebuah telaga biru jernih yang benar-benar indah. Rasanya dingin, tawar dan ringan. Permukaannya tenang, dalamnya tidak main-main.

Tepat di tengah telaga, berdiri kokoh pohon mangrove besar, meliuk-liuk ke atas. Cabangnya yang rimbun memberi kesejukan yang nyata. Dulu sewaktu kecil, Spencer dan kawan-kawan suka bergelantungan di sana, melompat riang menembus air.

Kini dia hanya sendiri. Memandangi dirinya di atas pantulan cermin air. Betapa renta dirinya sekarang.

Spencer merenggangkan badan, lalu melompat terjun ke dalam air. Inilah momen yang ditunggunya. Matahari jam sembilan pagi adalah waktu yang tepat. Spencer dapat melihat dasar telaga dengan jelas. Akar pohon mangrove yang besar dan menyebar, tampak seperti gerombolan ular raksasa yang menunggu mangsa. Megah sekaligus menakutkan.

Inilah alasan mengapa sebagian orang tidak berani mandi di telaga. Tapi tidak dengan Spencer. Setelah dua puluh menit berenang, Spencer kembali ke permukaan.

Usai membersihkan diri, Spencer bergeser ke utara. Ada bidang lantai bata di sana. Sebuah patok beton juga ada di sana. Patok itu adalah sutrah, pembatas untuk salat. Spencer bermaksud menenangkan diri di sana.

Usai salat, Spencer mengaso sejenak. Setelah itu pikiran-pikiran kusut coba diusutnya. Di sini semua terasa tenang, jernih, dan khidmat. Berada di alam raya yang luas ini, Spencer tidak perlu berkecil hati. Cukuplah dia berkecil jasad, tubuh.

Banyak hal yang direnungkan Spencer. Tentang tabiat manusia.

Begitu banyak pengalaman buruk yang diderita Spencer, tapi pertemuannya dengan manusia adalah yang paling menyakitkan. Kenapa manusia harus saling melukai?

Satu hal yang selalu ditanamkan Spencer dalam kepalanya yang usang : saat kau berbuat baik, maka manusia akan memanfaatkanmu. Saat kau berbuat jahat, maka mereka akan berbuat jauh lebih jahat. Mengerikan.

Menurut Spencer, manusia adalah ras paling jahat, bermuka dua, dan tega menyerang demi kepentingan perutnya. Berbeda dengan singa, serigala, ular, mereka menyerang tanpa tedeng aling-aling, terang-terangan ingin membunuh. Tapi tidak dengan manusia! Mereka bisa menyembunyikannya.

Dan Spencer dapat sediki paham, bahwa nafsu adalah atribut yang melekat dalam diri manusia. Nafsu itu telah menghadirkan iri pada hati Qabil. Pada hati saudara-saudara Yusuf.

Mata Spencer berkaca-kaca.

Ya Allah, kenapa Engkau menciptakan makhluk yang begitu serakah?

Ya Allah, mengkapa Engkau memenangkan nafsu atas kebanyakan manusia?

Lihatlah! Setiap hari mereka bergerak. Tidak lain dengan kepala yang dipenuhi uang dan keuntungan. Mencari barang fana, yang pada saat meninggal nanti, tidak akan mungkin mereka bawa! Tidak akan pernah muat dalam mulut mereka! Tidak lain tanah hitam! Itulah yang akan mengisi perut mereka!

Ya Allah, kenapa manusia begitu keras kepala? Bertengkar demi sebidang tanah! Saudara kepada saudara. Sesama sepupu, paman dan ponakan. Tidak ada habis-habisnya tentang itu. Apakah ini semacam kutukan?

Ya Allah, maafkanlah kami.

Uang adalah emas. Emas bukanlah kesenangan. Kita boleh menggenggam emas di tangan, tapi tidak boleh memasukannya sampai ke hati. Uang tidak boleh masak ke dalam pikiran. Cukuplah di depan mata saja. Oh, betapa sulitnya.

Cukup lama Spencer meracau sendiri. Terpekur satu arah. Memikirkan bagaimana meraih sikap wara yang begitu langka.

Spencer kemudian berdiri, melangkah menuju tepian telaga. Sekali lagi dia menyaksikan bayangan dirinya yang renta di atas air yang kebiru-biruan.

Setelah itu Spencer berteriak keras-keras,

"Ya Allah, aku membenci Fulan! Ampunilah aku!" Spencer menyebutkan satu nama.

"Ya Allah, aku membenci Fulan! Ampunilah aku!" Spencer menyebut nama lain.

Begitu terus, sebanyak tujuh nama.

Untuk LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang