Pendapat Sang Awan

259 39 10
                                    

Aku mengamati orang-orang itu. Beragam usia mereka. Mereka hadir di waktu menjelang fajar, tepat tengah hari, sore, menjelang malam, lalu satu jam setelahnya. Begitu terus. Sepanjang tahun tanpa henti.

Ya. Aku sudah sering mendengarnya. Kisah menakjubkan itu. Alasan kenapa seorang muslim dewasa harus melaksanakan salat lima waktu. Di tempat-tempat bersih.

Isra dan mi'raj. Para ulama masih berbeda pendapat kapan peristiwa hebat itu terjadi. Tidak ada yang tahu pasti. Anehnya, perayaannya cukup semarak. Setiap tahun pula. Aku memilih tidak terlibat dengan hal semacam itu.

Baiklah. Kalian pasti sudah tahu hikayatnya. Nabi Muhammad di-isra-kan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Lalu di-mi'raj-kan ke langit ketujuh. Pada kesempatan itu, Rasulullah diberi kehormatan untuk mengimami nabi-nabi lainnya, ketika melaksanakan salat. Dan seterusnya dan seterusnya.

Sampai kemudian, Rabb Alam Semesta memberi perintah salat lima puluh kali sehari semalam untuk kita, umat Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam. Lalu setelahnya, Rasulullah bertemu dengan Nabi Musa. Nabi Musa memberitahu Rasulullah bahwa umatnya–kita umat manusia–tidak akan sanggup dengan perintah itu. Dan benar saja. Lihat saja hari ini. Dari ratusan orang laki-laki di komplek kami, tidak lebih lima belas persen yang rutin salat berjamaah lima waktu. Catat. Lima waktu. Bukan lima puluh.

Lima belas persen itu orang-orang baik.

Nah. Bagaimana denganku? Karena satu alasan, aku tidak biasa bersama dengan orang-orang baik itu. Berderet, berdiri ber-shaf-shaf. Tidak. Sudah lama aku tidak seperti itu. Sangat jarang. Bahkan untuk beberapa bulan ini, tidak pernah.

Padahal, setiap melihatku, mereka tersenyum ramah. Orang-orang baik itu. Aku hanya bisa terdiam. Ikut tersenyum. Berkelakar sangat tidak mungkin. Soalnya, kebanyakan mereka adalah orangtua.

Benar-benar tidak mengenakkan.

***

Pagi ini, aku memilih berjalan santai. Olahraga ringan. Dengan pakaian pemuda kebanyakan. Celana pendek hitam selutut, baju T-shirt hijau tosca pucat, dan earphone lengkap terpasang di telinga.

Aku melangkah lambat-lambat. Tepat di depan masjid komplek, seseorang menyapaku. Ramah.

"Assalamu'alaikum, Dek." Ujarnya dibarengi senyum tulus.

"Wa'alaikumussalam, Pak." Jawabku seadanya. Sopan. Sekilas kuperhatikan orang itu. Aku tidak mengenalnya. Berarti dia orang baru di komplek ini. Tapi penampilannya, secara umum, membuatku terkesan.

Umurnya belum terlalu tua. Empat puluh tahun kurasa, atau lebih sedikit. Janggut lebat menghiasi wajahnya. Pria itu memakai surban, dan jubah putih bersih yang menjuntai rapi. Celana kain terpotong di atas mata kaki. Sajadah diselempangkan di bahu kanan. Aha. Jelas sekali, pria ini bagian dari kelompok orang-orang baik itu. Luar biasa.

"Dek," Ujarnya dengan lembut, "Kalau ada waktu sebentar, mampir ke masjid ini, ya. Salat berjamaah. Salat dhuhur." Kata-katanya begitu menenangkan.

Aku tertegun sejenak, lalu tersenyum canggung, "Iya, Pak. Diusahakan." Kataku. Lalu pria itu berkata,

"Maa syaa Allah."

Aku mengangguk sopan, kembali tersenyum, lalu pamit untuk melanjutkan perjalanan. Pria itu mempersilahkan dengan–untuk kesekian kalinya–ramah.

"Hati-hati di jalan, Dek." Pungkasnya.

***

Siang hari, aku melangkahkan kaki dengan mantap. Ini dia. Perlahan aku memasuki pekarangan masjid komplek. Aku terus berjalan. Kini aku berada di dalam masjid. Azan sudah dikumandangkan. Jamaah telah berkumpul, setelah masing-masing mendirikan salat sunat. Di antara jamaah itu, ada pria ramah yang menyapaku tadi pagi. Melihatku hadir, dia tersenyum. Aku telah memenuhi ajakannya.

Selebihnya, pria itu tampak terkejut. Melihat penampilanku siang ini. Kontras dengan fashion tadi pagi.

Sarung bermotif kotak-kotak, baju takwa warna hijau daun tua, dan peci turki berwarna abu-abu. Itulah pakaianku saat ini. Pria itu jelas bergembira dengan perubahanku. Aku membalas senyumnya. Terima kasih banyak.

Iqamat dikumandangkan. Shalat dhuhur akan dilaksanakan. Jamaah mulai membentuk shaf, dan, seperti yang kukatakan sebelumnya, aku tidak biasa berdiri dengan orang-orang itu. Tapi pria ramah itu memandangiku dengan lembut. Dia memanggilku–dengan isyarat tangan yang samar–untuk bergabung dengan jamaah. Aku hanya tersenyum, tak bergeming. Tempatku bukan di situ.

Pak Hidayah–sang muazin–selesai menunaikan tugasnya. Aku akhirnya memantapkan hati. Kulangkahkan kaki memasuki mihrab, berdiri tegak, lalu menoleh ke belakang. Memandangi jamaah sesaat. Termasuk pria ramah itu. Sedetik dia tampak terkejut. Lalu, dengan suara tegas dan berat aku berujar,

"Luruskan dan rapatkan shaf ... , "

Untuk LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang