Bagian XIX

37 13 3
                                    

Pagi itu, sewaktu embun belum menghilang, sewaktu kicau burung masih nyaring terdengar, huru-hara kendaraan berat tahu-tahu muncul

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Pagi itu, sewaktu embun belum menghilang, sewaktu kicau burung masih nyaring terdengar, huru-hara kendaraan berat tahu-tahu muncul.

Mesin excavator kuning emas berderu, badannya yang kokoh menyerbu halaman, melindas jalan. Tahu-tahu sendok raksasa excavator menghantam atap rumah Spencer. Bunyi keras seperti sesuatu yang pecah, menggelegar. Tidak ada yang terkejut, tidak ada yang terusik, karena tidak ada siapa-siapa di sana.

Tidak ada suara protes.

Cakar besar excavator menggaruk rumah Spencer dengan cepat. Menarik, menekan, menghantam, meremukkan, aktivitas apapun yang bersifat menghancurkan. Sang Operator alat berat benar-benar profesional. Sudah berkali-kali dia terlibat dalam prosedur pembongkaran bangunan gedung.

Ini sih bukan gedung, tapi gubuk reot, batin pembaca.

Di kejauhan, di pinggir jalan protokol, kumpulan orang penting berdiri mengamati proses pembongkaran. Mr. Rugatti ada di sana. Dia tersenyum lega. Sekaligus merasa menang. Ditepuknya pundak Jessica dengan mantap berulang kali.

Sengketa lahan yang berlarut-larut akhirnya selesai. Gugatan yang diajukkan telah berhasil. Dalam hal ini, pria tua bernama Spencer itu telah kalah. Ia gagal membuktikan keabsahan dokumen miliknya. Bahkan Si Spencer tidak kelihatan beberapa hari belakangan. Besar kemungkinan dia melarikan diri.

Mr. Rugatti tergelak dalam hati. Asetnya kini pulih alias bertambah. Dia lantas menyalami para kolega akrab, yang tentu saja sedang tertawa-tawa. Setelah berulang kali mengembuskan napas riang, Mr. Rugatti akhirnya berbalik, melangkah meninggalkan tempat kejadian perkara.

Tidak sampai tengah hari, proses pembongkaran praktis selesai dilakukan. Operator turun beristirahat. Debu masih bertebaran, tapi Sang Operator telah memerintahkan petugas lapangan untuk membereskan puing rumah yang berserakan.

Dengan peralatan seadanya, orang-orang mulai menjalankan tugas. Mereka mengangkat, mengangkut, menggeser, melempar, membuang dan menyimpan apapun yang ada di depan mata. Ada juga yang menggunakan gerobak kecil.

Mereka bergerak cepat, berharap tugas selesai sebelum sore. Lalu seseorang dari mereka berteriak keras. Seperti ketakutan. Dia seperti menemukan sesuatu.

Rekan-rekan kerja segera berkumpul. Apa yang ditemukan petugas itu? Mereka terkejut. Di antara puing-puing, tergeletak seekor ular besar bergulung-gulung menimpa beton dan kayu.

Ular itu begitu besar, membuat semua orang yang melihatnya menjadi bergidik. Yang lebih menakutkan, tidak ada yang tahu apakah ular itu masih hidup atau telah mati.

Petugas lapangan mundur karena merasa ngeri. Salah satu dari mereka mendadak berteriak. Ular itu bergerak. Ternyata masih hidup. Tahu-tahu ular itu berguling, berputar menampakkan bagian punggung yang berlubang, berwarna merah penuh darah.

Petugas lapangan tertegun, samar-samar mereka melihat wajah manusia dalam lubang luka ular itu. Mereka terpana. Bagaimana bisa?

Salah satu petugas, yang berani─dia berasal dari Karanganyar─segera berteriak,

"Hei, ini ada manusia!"

"Ular itu sudah mati!"

Orang-orang bergerak menolong. Dengan peralatan seadanya mereka merobek punggung ular. Manusia dalam tubuh ular terbebaskan. Mereka lagi-lagi terkejut. Bagaimana bisa pria tua ini tertelan ular?

Tentu saja, pria tua itu adalah Spencer. Petugas lapangan mengamati tubuh Spencer. Spencer serta-merta berdiri, wajah dan lengan kanannya penuh darah. Tangannya menggenggam gunting kecil.

Orang-orang menanyakan kondisi Spencer. Spencer tidak menjawab. Dia melangkah pelan-pelan. Tatapan matanya kosong menghadap ke depan. Orang-orang mencoba memapah Spencer, tapi Spencer menepis tangan mereka.

Spencer terus berjalan, meninggalkan puing-puing rumah miliknya.  

Untuk LunaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant