Epilog

73 18 5
                                    


Tak terasa musim hujan datang lagi. Rasa-rasanya musim kemarau tidak pernah muncul. Apakah hanya perasaanku, atau memang ini semua pengaruh pemanasan global? Ah. Dramatis sekali.

Apapun itu, yang kulakukan saat ini hanyalah tersenyum. Membaca surat balasan dari gadis hebat. Itu dirimu, Luna.

Masih di café yang sama, aku menghampar lembar kertas, meng-klik ballpoint dengan ceria, dan mulai menulis,

Hai, Luna. Aku baru saja membaca surat balasanmu. Dan jujur saja, lima detik menyimaknya, aku langsung tertawa.

Tentu saja, kau kebingungan. Kenapa aku memberimu kisah itu. Apa tujuannya. Apa alasannya.

Bukankah itu semua tidak istimewa? Itu poinnya, Luna. Kau harus mengasah kepekaanmu terhadap dunia.

Spencer hanya pria tua biasa. Kisahnya sederhana. Kau bisa saja mengabaikannya. Orang semacam dia bisa jadi tetangga siapapun. Bisa jadi cerita miliknya juga dimiliki orang sejauh lima blok dari rumah.

Dan kebanyakan kita tidak akan peduli. Hei, itu masalah miliknya. Aku punya masalah hidup sendiri. Bukan, begitu?

Nah, Luna, cobalah untuk mengamati dunia ini secara mendalam. Pola. Aku berbicara tentang pola. Semua di muka ini mengandung pola. Alur. Konsekuensi. Tidak ada yang kebetulan.

Jika kau berbuat baik, kau akan mendapat ganjaran yang baik pula. Jika kau berbuat jahat, keburukan akan segera menimpamu, cepat atau lambat. Seperti itu.

Pahamilah pola itu dan bijaklah memilih sisi, Luna. Ini bukan tentang hitam dan putih. Yang kau anggap protagonis, bisa saja memiliki sisi jahat dalam dirinya. Orang-orang yang memposisikan diri sebagai pembela kebenaran, bisa jadi tumpul akan kekurangan dan kesalahan diri sendiri. Ini tidak baik, Luna.

Antagonis tidak selalu antagonis, Luna. Kau harus lebih dalam menggali, mengamati dan menetapkan kesimpulan. Jika tidak punya ilmu, lebih baik diam. Hujatan tidak dapat terhapus, makian sulit dilupakan.

Bukankah lucu, kita menghukumi manusia dengan satu fatwa yang lebih condong pada asumsi? Konyol sekali. Para ilmuwan, Luna, yang bertahun-tahun melakukan riset pada satu studi kasus, masih bisa melakukan kesalahan penetapan teori. Seringnya fatal.

Maka, Luna, di dunia yang fana ini, tahan lisan dan jari-jarimu.

Oh, iya, bicara soal tangan. Bijaklah menapaki dimensi komentar. Huff, agak ngeri rasanya menyaksikan perdebatan dan perkelahian verbal di linimasa.

Engkau makhluk istimewa, Luna. Engkau seorang wanita. Seorang perempuan. Per, empu, an. Kau adalah tempat asal. Jaga harkat dan martabatmu. Kau adalah makhluk yang lazimnya tidak boleh sembarang disentuh. Pantang dirayu, terlarang untuk dilecehkan.

Akan tetapi, Luna, godaan dunia begitu mengerikan. Banyak wanita yang terlahir fitrah, terhormat, menyandang mahkota kesucian, pada akhirnya terjatuh dalam jurang kehinaan dan kenistaan. Aku ... , tidak bisa berkomentar banyak, Luna, aku tidak punya ilmu tentang itu.

Kenapa bisa seperti itu?

Apa motivasi dari semua kesalahan itu? keterpurukan ekonomi? Kurangnya nilai moral? Penolakan manusia yang merasa paling suci? Aih, Luna, sebagai perempuan, tentu kelak, kau bisa menjelaskannya kepadaku. Semoga kita dikaruniai umur panjang.

Luna, sebagai perempuan, kelak kau akan berkeluarga. Banggalah dengan status kewanitaanmu. Kau akan menjadi Ibu, nenek, pertiwi bagi keturunanmu. Oleh karena itu, apabila datang seorang lelaki kepadamu, maka perhatikanlah hal-hal berikut ini.

Pertama, agamanya. Apabila lelaki itu lelaki yang faqih, maka itu lebih dari cukup. Apabila dia fahmi, maka teliti adabnya. Jikalau, andaikata, kau berkenan menilainya, maka perhatikan pekerjaannya.

Jika pekerjaannya tidak abu-abu, kau bisa segera menentukan. Kuberitahu, Luna, mereka yang bekerja di sektor pemerintah adalah orang-orang yang rentan. Oleh karena itu, akhlaknya sangatlah penting untuk menjadi bahan pertimbangan.

Terkahir Luna, lihat keluarganya. Pahlawan atau penjahat, bisa dari bangsa dan suku manapun. Jangan sempit dalam melakukan penilaian. Alangkah langkanya orangtua yang gemar mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan, kepedulian kepada sesama, dan tenang dalam menakar rizki yang telah ditetapkan.

Jauhi obsesi dunia, Luna. Harta yang hakiki adalah apa yang disedekahkan. Sisanya, diperebutkan, dipertengkarkan, dan berakhir terbuang dalam tanah.

Aih, Luna, rasanya aku terlalu banyak berbicara, mengguruimu. Aku harap kau berkenan. Jika kau tidak keberatan, di lain kesempatan, aku akan memberimu kisah aneh lainnya.

Demikian dariku, Luna. Aku hanya berharap, kebaikan dan keberkahan senantiasa membersamaimu.

Dariku,

Hamzah 

Untuk Lunaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن